• Jumat, 05 Oktober 2012

      Biografi Imam Hanbali (bag:1)

      Imam Ahmad Bin Hanbal (164H-241 H)
      Sejarah Singkat Imam Hanbali

      Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal. adalah Imam yang keempat dari imam mujtahid arbaah.Beliau memiliki sifat-sifat yang luhur dan tinggi. Ahmad bin Hambal dilahirkan di Baghdad (iraq) pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H. Beliau termasyhur dengan nama kakeknya Hambali, kerana kakeknya lebih masyhur dari ayahnya. Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya.Karya-karya mereka seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya. Beliau menghapal hadist hingga mencapai 700.000 hadist
      Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala.
      Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab karyanya Al Musnad.Dalam kitab tersebut, hanya 40.000 hadits yang dituliskan kembali dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkan. Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat sahih dan hanyasedikit yang berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi tokoh sahabat, sebenarnya hadits yang termuat dalam Al Musnad berjumlah30 ribu karena ada sekitar 10 ribu hadits yang berulang.

      Latar belakang pendidikan
      Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadits, bukan datang begitu saja. Tokoh kelahiran Baghdad, 780 M (wafat 855 M) ini, dikenal sebagai ulama yang gigih mendalami ilmu. Lahir dengan nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali dibesarkan oleh ibunya, karena sang ayah meninggal dalam usia muda. Hingga usia 16 tahun, Hanbali belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulamaBaghdad. Setelah itu, ia mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat seperti Kufah, Basrah, Syam,Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa gurunya antara lain Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah,Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hanbali muda mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan dan ketekunannya, Hanbali dapat menyerap semua pelajaran dengan baik. Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar ada ulama terkenal disuatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama hanya untuk menimba ilmu darisang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan Hanbali rela tak menikah dalam usia muda. Iabaru menikah setelah usia 40 tahun.

      Pernikahan beliau
      Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang putra bernama Saleh. Ketika Aisyah meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan dikarunia putra bernama Abdullah. Istri keduanya pun meninggal dan Hanbali menikah untuk terakhir kalinya dengan seorang jariyah, hamba sahaya wanita bernama Husinah. Darinya ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muhammad,dan Said

      Tentang Keperibadian
      Beliau adalah orang yang zuhud lagi dermawan
      Tak hanya pandai, Imam Hanbali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin Hani,salah seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan kezuhudan Imam Hanbali. ”Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga Shubuh tiba,” katanya Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama ahli fikih, berkata, ”Akup ernah datang kepada Imam Hanbali, lalu aku diberinya uang sebanyak empat dirham sambil berkata, ‘Ini adalah rezeki yang kuperoleh hari ini dan semuanya kuberikan kepadamu.”’


      Beliau orang yang teguh pendirian
      Imam Hanbali juga dikenal teguh memegang pendirian. Di masa hidupnya, aliran Mu’tazilah tengah berjaya. Dukungan Khalifah Al Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah yang menjadikan aliran ini sebagai madzhab resmi negara membuat kalangan ulama berang. Salah satu ajaran yang dipaksakan penganut Mu’tazilah adalah paham Al-Qur’an merupakan makhluk atau ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak pandangan itu. Imam Hanbali termasuk yang menentang paham tersebut. Akibatnya, ia pun dipenjara dan disiksaoleh Mu’tasim, putra Al Ma’mun. Setiap hari ia didera dan dipukul. Siksaan ini berlangsung hingga Al-Wasiq menggantikan ayahnya, Mu’tasim. Siksaan tersebut makin meneguhkan sikap Imam Hanbali menentang paham sesat itu. Sikapnya itu membuat umat makin bersimpati kepadanya sehingga pengikutnya makin banyak kendati ia mendekam dalam penjara.

      Pengajaran beliau
      Sepeninggal Al Wasiq, Imam Hanbali menghirup udara kebebasan. Al Mutawakkil, sang pengganti,membebaskan Imam Hanbali dan memuliakannya. Namanya pun makin terkenal dan banyaklah ulama dari berbagai pelosok belajar kepadanya. Para ulama yang belajar kepadanya antara lain Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu Zur’ah Ad Dimasyqi, Imam AbuZuhrah, Imam Ibnu Abi, dan Imam Abu Bakar Al Asram. Sebagaimana ketiga Imam lainnya; Syafi’i, Hanafi dan Maliki, oleh para muridnya, ajaran-ajaran Imam Ahmad ibn Hanbali dijadikan patokan dalam amaliyah (praktik) ritual, khususnya dalam masalah fikih.Sebagai pendiri madzhab tersebut, Imam Hanbali memberikan perhatian khusus pada masalah ritual keagamaan, terutama yang bersumber pada Sunnah.

      Pengikut mazhab imam hanbali
      Menurut Ibnu Qayyim, salah seorang pengikut madzhab Hanbali, ada lima landasan pokok yang dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa madzhab Hanbali. Pertama, nash (Al-Qur’an dan Sunnah). Jika ia menemukan nash, maka ia akan berfatwa pertama :dengan Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak berpaling pada sumber lainnya. Kedua, fatwa sahabat yang diketahui tidak ada yang menentangnya.Ketiga, jika para sahabat berbeda pendapat, ia akan memilih pendapat yang dinilainya lebih sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Jika ternyata pendapat yang ada tidak jelas persesuaiannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka ia tidak akan menetapkan salah satunya, tetapi mengambil sikapdiam atau meriwayatkan kedua-duanya. Keempat, mengambil hadits mursal (hadits yang dalam sanadnya tidak disebutkan nama perawinya),dan hadits dhaif (hadits yang lemah, namun bukan ‘maudu’, atau hadits lemah). Dalam hal ini, haditsdhaif didahulukan dari pada qias. Dan kelima adalah qias, atau analogi. Qias digunakan bila tidakditemukan dasar hukum dari keempat sumber di atas.

      Pada awalnya madzhab Hanbali hanya berkembang di Baghdad
      Baru pada abad ke-6 H, madzhab ini berkembang di Mesir. Perkembangan pesat terjadi pada abad ke-11 dan ke-12 H, berkat usaha (Ibnu Taimiyyah w. 728 H dan Ibnu Qayyim w. 751 H .) ( ? )Kedua tokoh inilah yang membuka mata banyak orang untuk memberikan perhatian pada fikih madzhab Hanbali, khususnya dalam bidang muamalah. Kini, madzhab tersebut banyak dianut umat Islam di kawasanTimur Tengah. Hasil karya Imam Hanbali tersebar luas di berbagai lembaga pendidikan keagamaan. Beberapa kitab yang sampai kini jadi kajian antara lain Tafsir Al-Qur’an, An Nasikh wal Mansukh, Jawaban Al-Qur’an, At Tarikh, Taat ar Rasul, dan Al Wara. Kitabnya yang paling terkenal adalah Musnad Ahmad bin Hanbal.

      Nasab dan Kelahiran-nya
      Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘dbin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim. Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H. Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.

      Masa Menuntut Ilmu Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunahbinti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau.Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan. Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal paraqari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya. Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’” Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalahal-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah. Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terusberada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliaumelakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil haditsdari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih. Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz,Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ binal-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.” Bersambung ke( Bag 2)

      0 komentar:

      Posting Komentar

      Subscribe To RSS

      Sign up to receive latest news