• Minggu, 07 Oktober 2012

      Peninggalan Rosululloh S A W.


      Inilah peninggalan peninggalan Rosululloh S a w yang masih utuh sampai sekarang






      Gigi dan beberapa Rambut Nabi S a w 



      Telumpah dan Telapak Nabi S a w




       Bentuk Pedang Pada masa Rosululloh S a w.



      Jejak kaki Rosululloh Saw.

      Surat Dari kulit Zaman Rosululloh S a w.

      Daun Pintu Kakbah masa Rosululloh S a w.

      Semoga dapat mengobati rasa rindu kita pada junjungan nabi yang mulia Muhammad S A W. dan menambah kecintaan kita terhadap beliau.












      Jumat, 05 Oktober 2012

      KH.Muntaha Al-Hafidz Kalibeber Wonosobo,



      KH Muntaha al-Hafiz bin Asy`ari bin `Abdul Rahim bin Muntaha bin Muhammad adalah pengasuh dan penerus Pondok Pesantren Tahfidzul Quran al-Asy`ariyyah. Beliau dilahirkan pada 9 Julai 1912 di desa Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah. Beliau memulakan pengajian formal agamanya di Darul Maarif, Banjarnegara di bawah asuhan Syaikh Muhammad Fadhlullah as-Suhaimi yang masih terhitung kerabatnya. Setelah tamat di Darul Maarif, beliau meneruskan mondok di Pesantren Tahfidzul Quran Kaliwungu, Kendal di bawah asuhan K.H. Utsman sehingga berhasil menghafal al-Quran ketika berusia 16 tahun. Setelah itu, beliau mendalami ilmu qiraah di Pesantren Krapyak dengan Kiyai Munawwir. Ilmu hadits, fiqh dan tafsir didalaminya di Pesantren Termas, Pacitan di bawah asuhan Kiyai Dimyathi.

      Dalam perjuangan mendapatkan kemerdekaan negara Indonesia, KH Muntaha tidak ketinggalan berjuang menjadi komandan BMT (Barisan Muslimin Temanggung) yang bertempur dengan penjajah Belanda di Palangan Ambarawa. Kiyai Muntaha juga terkenal sebagai seorang ulama multidimensi yang mempunyai berbagai idea yang cemerlang. Dalam dunia pendidikan KH Muntaha al-Hafiz merupakan teladan karena keberhasilannya mengembangkan pendidikan di bawah naungan Yayasan al-Asy'ariyyah. Yayasan tersebut saat ini menaungi berbagai tangga pendidikan, antara lain, Taman Kanak-kanak (TK) Hj. Maryam, Madrasah Diniyah Wustho, Madrasah Diniyah `Ulya, Sekolah Madrasah Salafiyah al-Asy'ariyyah, Tahfidzul Qur'an, SMP Takhasus Al-Quran, SMU Takhasus al-Quran, SMK Takhasus al-Quran, Universitas Sains al-Quran (UNSIQ), khusus untuk Perguruan Tinggi UNSIQ ini di bawah naungan Yayasan Pendidikan Ilmu-Ilmu al-Quran (YPIIQ). Selain mengatur soal pendidikan, beliau turut aktif menjalankan dakwah bahkan beliaulah yang membentuk Korps Dakwah Santri (KODASA). Korps ini merupakan wadah bagi aktiviti santri Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah dalam menyiarkan Islam, baik yang diperuntukkan bagi kalangan santri (sesama santri) dalam rangka meningkatkan kualiti diri, maupun kepada masyarakat banyak.

      Dalam perjuangan memasyarakatkan al-Quran, KH Muntaha telah mendirikan Yayasan Himpunan Penghafal al-Quran sebagai wadah untuk menghimpunkan para hafiz dan hafizah. Kepada murid-muridnya, beliau anjurkan agar mengkhatam al-Quran seminggu sekali. Selain menghafal al-Quran, beliau turut mengarang sebuah tafsir al-Quran diberi jodol "Tafsir al-Munthaha".




      KH. Muntaha Al-Hafizh
      Kecintaan Allahuyarham Mbah Muntaha sapaan akrab KH. Muntaha Al-Hafizh Kalibebeber Wonosobo terhadap Al-Qur’an tak dapat diragukan lagi. Hampir seluruh usianya dihabiskan untuk menyebarkan dan menghidupkan Al-Qur’an.
      Yang Paling monumental adalah gagasannya membuat mushaf Al-Qur’an Akbar (Al-Qur’an Raksasa) dengan tinggi 2 meter, lebar 3 meter dan berat 1 kuintal lebih. Sebuah karya maha agung yang sempat dikala itu diusulkan masuk ke Guiness Book Of Record.
      KH Muntaha al-Hafizh lahir di desa Kalibeber kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo dan wafat di RSU Tlogorejo Semarang, Rabu 29 Desember 2004 dalam usia 94 tahun. Ada beberapa keterangan berbeda tentang kapan tepatnya Mbah Muntaha Lahir.
      Pertama, ada yang mengatakan Kiai Muntaha lahir pada tahun 1908. Kedua, ada pula yang menyatakan bahwa Kiai Muntaha lahir pada tahun 1912. Hal ini didasarkan pada dokumentasi pada KTP / Paspor dan surat-surat keterangan lainnya, Mbah Muntaha lahir pada tanggal 9 Juli 1912.
      Kiai Muntaha adalah putra ketiga dari pasangan KH. Asy’ari dan Ny. Safinah. Sebelum Kiai Muntaha, telah lahir dua kakaknya, yakni Mustaqim dan Murtadho.
      Sejak kecil hingga dewasa, Kiai Muntaha menimba banyak ilmu dari sejumlah Kiai Pesantren. Sebelum itu, Kiai Muntaha mendapat didikan langsung dari kedua orang tuanya, KH. Asy’ari dan Ny. Safinah.
      Lahir dalam keluarga Pesantren, Kiai Muntaha banyak memperoleh didikan berharga dari Ayah dan Ibundanya seperti membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman. Kedua orang tuanya memang dikenal sangat telaten dan sabar dalam mendidikan putra-putrinya.
      Selanjutnya dari Kalibeber, Kiai Muntaha memulai perjalanan menuntut ilmunya ke berbagai Pesantren di tanah air. Kiai Muntaha sebagaimana umunya santri dizaman itu berkenala untuk mencari ilmu dari Pesantren ke Pesantren berikutnya.
      Ada satu hal sangat menarik berkaitdan dengan proses pencarian ilmu Kiai Muntaha saat masih muda. Ketika Kiai Muntaha berangkat menuntut ilmu ke, Pesantren Kaliwungu,Pesantren Krapyak, dan Pesantren Termas, ia selalu menempuh perjalanan dengan cara berjalan kaki. Melakukan riyadhah demi mencari ilmu semacam itu dilakukan Kiai Muntaha dengan niatan ikhlas demi memperoleh keberkahan ilmu.
      Di setiap melakukan perjalanan menuju Pesantren, Kiai Mutaha selalu memanfaatkan waktu sambil mengkhatamkan Al-Qur’an saat beristirahat untuk melepas lelah. Kisah ini menunjukkan kemauan keras dan motivasi spiritual yang tinggi yang dimiliki Kiai Muntaha dalam mencari ilmu.
      Setelah berkenalan dari berbagai Pesantren, Kiai Muntaha kembali ke Kalibeber pada tahun 1950. Ia kemudian meneruskan kepemimpinan ayahnya dalam mengembangkan Al- Asy’ariyyah di desa kelahirannya, Kalibeber, Wonosobo.Di bawah kepemimpinan Mbah Muntaha inilah, Al-Asy’ariyyah berkembang pesat. Berbagai kemajuan signifikan terjadi masa ini.
      Dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, KH. Muntaha adalah pribadi yang bersahaja. Mbah Muntaha sangat sayang kepada keluarga, santri dan juga para tetangga, serta masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
      Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat
      Kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an sebenarnya berawal dari kecintaan ayahandanya , Kiai Asy’ari terhadap Al-Qur’an. Dalam usia relatif muda yakni 16 tahun, Kiai Muntaha telah menjadi hafizh Al-Qur’an.
      Hampir seluruh hidup Mbah Muntaha didedikasikan untuk mengamalkan dan mengajarkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada para santrinya dan juga pada masyarakat umumnya.
      Dalam kesehariannya Mbah Muntaha selalu mengajar para santri yang menghafalkan Al-Qur’an. Para santri selalu tertib dan teratur satu per satu memberikan setoran hafalan kepada Kiai Muntaha. Mbah Muntaha selalu berjuang untuk menanamkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada santri-santrinya.
      Sepanjang hidup Mbah Muntaha, Al Qur’an senantiasa menjadi pegangan utama dalam mengambil berbagai keputusan, sekaligus menjadi media bermunajat kepada Allah Swt. Mbah Muntaha tidak pernah mengisi waktu luang kecuali dengan Al-Qur’an.
      Sering Kiai Muntaha mebaca wirid atau membaca ulang hafalan Al-Qur’an di pagi hari seraya berjemur. Menurutnya, wirid dan dzikir yang paling utama adalah membaca Al-Qur’an. Itulah sebabnya, Kiai Muntaha menasehati para santri untuk mengkhatamkan Al-Qur’an paling tidak seminggu sekali.
      Kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an juga diwujudkan melalui pengkajian tafsir Al-Qur’an, dengan menulis tafsir maudhu’i atau tafsir tematik yang dikerjakan oleh sebuah tima yang diberi nama Tima Sembilan yang terdiri dari sembilan orang ustadz di Pesantren Al-Asy’ariyyah dan para dosen di Institut Ilmu Al-Qur’an (sekarang UNSIQ) Wonosobo. Gagasan Kiai Muntaha tentang penulisan tafsir ini mengandurng maksud untuk menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada masyarakat luas.
      Dan puncak realisasi kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an ditunjukkan dengan perealisasian idenya tentang penulisan Al-Qur’an dalam ukuran raksasa yang sering disebut dengan Al-Qur’an akbar utuh 30 juz.
      Al-Qur’an akbar itu ditulis oleh dua santri Al-Asy’ariyyah yang juga mahasiswa IIQ yaitu H. Hayatuddin dari Grobogan dan H. Abdul Malik dari Yogyakarta. Ketika penulisan Al-Qur’an akbar yang kertasnya merupakan bantuan dari Menteri Penerangan (H. Harmoko di kala itu) itu selesai, Al-Qur’an itu pun diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia di istana negara.
      Mungkin Kiai Muntaha melihat banyak orang Islam telah meninggalkan Al-Qur’an, atau bahkan sama sekali tidak mau membaca Al-Qur’an, sehingga Mbah Muntaha tidak henti-hentinya menasehati anggota Hufadz wa Dirasatal Qur’an (YJHQ) untuk terus memasyarakatkan Al-Qur’an. Dakwah serupa juga selalu Mbah Muntaha sampaikan saat Beliau berkunjung ke berbagai belahan dunia seperti Turki, Yordania, Mesir dan lain sebagainya.
      Dari hal-hal yang sudah disebutkan, menjadi jelas bahwa sosok dan pribadi Kiai Muntaha al-Hafidz adalah sosok sosok yang sangat mencintai Al-Qur’an secara fisik maupu nbatin. Seluruh hidupnya diperuntukkan untuk berdakwah menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an ke masyarakat.
      KH Muntaha al-Hafiz menghembuskan nafasnya yang terakhir pada hari Rabu, 29 Disember 2004 dalam usia kira-kira 92 tahun.
      Semoga beliau selalu digolongkan menjadi Ahlul Al-Quran hidup bersama para Sidiqin Syuhadak dan para Solikhin ila yaumiddin wa ila Jannatinna`im dan
      Mudah-mudahan rahmat Allah sentiasa dilimpahkan ke atas beliau, guru-guru beliau ,Keluarga dan dzuriyyah beliau serta muslimin muslimat sekaliannya.........al-Fatihah





      Pada sekitar tahun 1900 bentuk pesantren di Kajen mulai berbentuk klasikal atau dapat dikata mulai tertata rapi meski belum berwujud madrasah/sekolah. Adalah KH. Nawawi putra KH. Abdullah yang memprakarsai berdirinya Pondok Kulon Banon yang dikemudian hari bernama Taman Pendidikan Islam Indonesia (TPII). Selang dua tahun di susul oleh KH. Siroj, putra KH. Ishaq juga mendirikan Pondok Wetan Banon yang dikemudia hari bernama Salafiyah. Penamaan Kulon dan Wetan Banon ini disandarkan pada letak posisinya dari makam Kanjengan, makan dekat pesarean Syekh Mutamakkin yang diyakini makam para ningrat Pati. Keberadaan makam itu yang dikelilingi tembok besar (Banon) menjadikan kompas bagi masyrakat Kajen untuk menyebut pesantren yang berdiri hampir bersamaan itu. Baru sekitar delapan tahun (1910), KH. Abdussalam (Mbah Salam), saudara KH. Nawawi mendirikan pondok di bagian paling Ujung Barat desa Kajen, dan dinamakan Pondok Pesantren Polgarut yang dikemudian hari bermama Pondok Pesantren Maslakul Huda Polgarut Utara (PMH Putra). Ketiga pesantren di atas boleh dikata awal kebangkitan pesantren di Kajen yang kemudian baru muncul pesantren-pesantren kecil lain yang jika ditelusuri tidak terlepas dari ikatan keluarga dengan ketiga bani tersebut. Bahkan masyarakat meyakini bahwa ketiga ulama tersebutlah yang kemudian menjadi panutan di desa Kajen. Pradjarta Dirdjosanjoto pernah melakukan penelitian tentang perkembangan Islam di sekitar wilayah Tayu, menganggap bahwa keturunan ketiga bani (Bani Siroj, Bani Nawawi dan Bani Salam) tersebut yang kini mempunyai pengaruh besar di desa Kajen. Embrio Pondok Kajen Wetan Banon yang berdiri tahun 1902 merupakan bentuk kepedulian KH. Siroj untuk meneruskan perjuangan Syekh Mutamakkin dalam menegakkan kebenaran agama Allah. Pada masanya, karena beliau sebelumnya seorang saudagar kaya raya, maka tak mudah untuk mendirikan beberapa pondokan dan satu musholla. Musholla di depan rumahnya merupakan tempat pada mana orang menimba ilmu dari beliau. Tempatnya yang pinggir jalan persis membuat orang mudah mengenalnya. Disertai dengan bangunan besar dari kayu di seberang jalan, KH. Siroj memulai pengajian-pengajian tentang keagamaan dan kemasyarakatan. Dengan kelebihannya yang mendapatkan ilmu ladunni, para santrinya pun semakin hari semakin bertambah. Inilah awal yang baik bagi Yayasan Salafiyah yang disertai dengan keikhlasan dan kebersahajaan pendirinya. Semoga benih yang telah ditanam KH. Siroj ini betul-betul dirawat oleh keturunannya secara benar dan amanah. Kemajuan Pesantren Wetan Banon yang cukup pesat tidak dapat dipisahkan dari kepribadian KH. Siroj yang merupakan ulama dan ilmuwan ternama. Para murid senior yang juga keluarga dekatnya, mendapat kesempatan untuk membantu mengelola pesantren dan mempunyai andil dalam kemajuan pesantren. Para santri tertarik dengan sistem pengajaran yang diberikan olehnya. Dapat dilihat muridnya seperti KH. Bisri Syamsuri yang menjadi ulama besar di Denanyar Jombang, atau KH. Hambali yang menjadi tokoh terkemuka di Waturoyo. Pondok Wetan Banon ini dipegang oleh KH. Siroj selama 26 tahun dalam kondisi ketegangan politik oleh kolonial Belanda. Sepeninggalan KH. Siroj pada tahun 1928, Pondok Wetan Banon ini diasuh oleh putranya, KH. Baedlowie dan KH.Hambali. Tepatnya pada tanggal 1 Januari 1935 barulah duet kepemimpinan ini membuka Madrasah yang dinamakan Madrasah Salafiyah. Madrasah ini dibangun tiga tahun setelah Madrasah Matholiul Falah yang dirikan oleh KH. Thohir, KH Durri, KH. Mahfudz dan KH. Abdullah Salam dari Kajen Kulon Banon dan Pol garut. Madrasah Salafiyah dibangun di samping rumah dan pondok Wetan Banon bagian timur yang kebetulan KH. Siroj memberikan tanah itu untuk dikelola oleh KH Baedlowie. Saat Salafiyah dipegang oleh sosok kharismatik KH Hambali dan KH Baedlowi, Madrasah sebagai pelengkap dari pengajaran agama di pesantren tersebut tampak pola-pola pengelolaannya yang masih digarap secara individual. Penamaan Salafiyah ini akhirnya lebih kentara dan dikenal oleh khalayak ramai untuk pesantrennya juga. Makanya masyrakat kemudian menyebut Madrasah Salafiyah tidak lepas dari Pondoknya, yaitu Pondok Wetan Banon yang kemudian entah mulai kapan berganti dengan Pondok Salafiyah. Hanya sekitar enam tahun madrasah ini melakukan aktifitasnya, namun sejak masa pendudukan fasis militer Jepang (1942) madrasah ditutup sementara. Kajen menjadi tempat yang diawasi secara ketat. Beberapa pengelola Madrasah Salafiyah ikut terjun ke kancah politik perjuangan, seperti ke Hisbullah atau menangani keagamaan di Pemerintah (sekarang DEPAG). Peristiwa ini mengakibatkan banyak warga pria Kajen meninggalkan desanya untuk mencari suaka, dan ikut terjun memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tak ketinggalan KH. Hambali. KH. Hambali pergi ke rumah mertuanya di Bareng Jekulo Kudus. Dan disana pada tahun 1955, KH. Hambali juga membuka madrasah dan pesantren baru yang juga dinamakan Salafiyah. Setelah situasi tanah air mengijinkan pada tahun 1945 madrasah Salafiyah Kajen dibuka kembali, di bawah asuhan KH Baedlowie dengan dibantu H. Hamzawie dan angkatan mudanya. Pada tahun 1948 berkat ketekunan dari pengelola madrasah Salafiyah sudah mendapat pengakuan dari pemerintah. Bahkan pada tahun 1950, Salafiyah mendapatkan subsidi pemerintah yang berupa tenaga pengajar dan alat-alat sekolah. Pada masa ini gedung Madrasah Salafiyah baru tiga lokal di samping barat kediaman KH. Baedlowie dan beberapa lokal di depan rumahnya. Kemampuan KH. Baedlowie mengajak angkatan muda dan santri-santrinya yang dianggap mumpuni untuk ikut bergabung cukup memadai sampai metode klasikal dan tradisi diskusi/musyawarah diterapkan. Para santri begitu tekun dan merasa cocok dengan metode seperti ini. Sehingga semakin banyak siswa yang belajar di madrasah Salafiyah. Dalam hal pelaksanaannya, KH. Baedlowie menyerahkan pengelolaan Madrasah Salafiyah kepada KH Muzayyin Hadi. Dengan kemampuan KH. Muzayyin Hadi ini tampak adanya bentuk kerangka keorganisasian yang bagus. Atas perkembangan yang baik ini pada tahun 1956 dibukalah kelas tingkat Tsanawiyah tiga tahun, dan pada tahun 1958 madrasah Salafiyah mendapat PIAGAM (Pengakuan wajib belajar) dari pemerintah/Departemen Agama Republik Indonesia). Pada sekitar tahun 1960, atas usulan para generasi mudanya, pesantren ini dinamakan Taman Pendidikan Tamrinul Huda (TPTH), namun tak begitu lama atas kesepakatan keluarga namanya dirubah kembali ke semula, yaitu Pesantren Salafiyah. Perubahan nama itu tidak mempengaruhi proses pertumbuhan madrasahnya. KH. Muzayyin Hadi tetap berkiprah sampai ia non-aktif. Dan kepengurusan dipegang oleh keponakan KH. Baedlowi yang telah menjadi sarjana muda yaitu H. Hadziq Siroj, BA, putra KH. Abdul Kohar. Ia melakukan pembenahan sistem keorganasiasian, tata kerja, administrasi dan mata pelajaran. Pada tahun 1968, Madrasah Salafiyah mampu mendirikan tingkat Aliyah tiga tahun dan tiga tahun kemudian yaitu tahun 1971 tingkat muallimat enam tahun di buka untuk perempuan yang ingin sekolah di madrasah Salafiyah. Pada kepengurusan Hadziq Siroj, keorganisasian Pelajar salafiyah mulai dibentuk dengan nama Persatuan Pelajar Salafiyah (PPS). Namun pada tahun 1973, kesibukan Hadziq Siroj di badan legislatif Daerah Pati meningkat, hingga kepengurusan pun diserahkan kepada Muwaffaq Noor. Perubahan ke arah perbaikan itu semakin tampak jelas saat kepemimpinannya dipegang Muawwaq Noor, menantu KH. Abdul Wahab (1973-1979). Pada kepengurusannya Madrasah Salafiyah menerima surat akte Pengesahan Perguruan Agama Islam dari pemerintah pada tahun 1975 nomor : K/127/III/75. Organisasi Siswa yang bernama PPS (Persatuan Pelajar Salafiyah) kemudian seiring perkembangan diubah menjadi KPS-KPPS (Keluarga Pelajar Salafiyah-Keluarga Pelajar Putri Salafiyah). Wadah ini merupakan alternatif yang apik bagi siswa-siswi yang mau mengembangkan kreatifitasnya. Menyadari hal itu Muwaffaq Noor dengan dibantu Mas̢۪udi mengadakan penataran leadership selama sepekan pada setiap kepengurusan. Hasilnya sungguh luar biaa, bursa-bursa calon ramai dengan kampanye sepekan sebelum pemilihan. Hal itu menunjukkan sifat kompetitif di antara siswa. Pada era ini pula, tampak pelebaran sayap ke berbagai kegiatan dan drama. Antara lain pertukaran pelajar, pengembangan bahasa Arab dan bahasa Inggris, serta daya apresiasi seni yang mengantarkan Salafiyah ke kancah PORSENI se-eks Karisedanan Pati. Namun kekhasan di madrasah ini yang juga kekhasan madrasah di Kajen adalah adanya testing Baca Kitab ketika akan menyelesaikan studinya. Kitab yang ditestingkan adalah Fiqh tahrir dan Hadis Bulughul Marom. Tak ketinggalan tingkat tsanawinya. Mengenai pelaksanaan pengajian di pesantrennya, tetap berjalan seperti biasa dengan metode bandongan, sorogan yang dipandang masih efektif. Karena kondisi KH. Baedlowie sakit parah, maka pengelolaannya pesantren dilakukan oleh KH. Faqihuddin, putra KH. Baedlowie. Dengan dibantu oleh saudara-saudaranya dan santri senior, santri yang berdatangan juga semakin meningkat. Hingga harus membangun gedung di depan rumah KH. Faqihuddin untuk menambah daya tampung santri. Proses pengajaran di pesantren pada saat ini dipandang berjalan seiring dan saling melengkapi dengan kurikulum yang diajarkan di madrasah. Berbeda dengan tahap-tahap metamorfosis sebelumnya, ketika kepemimpinan madrasah kembali ke tangan H. Hadziq Siroj (1980-1997), peningkatan mutu dan sistem yang ditampilkan sungguh mencolok. Sekitar tahun 1982 dibentuk tim drumband yang di kemudian hari mengharumkan Salafiyah. Mulai saat itu pula sistem pendidikan di Salafiyah terkait dengan sistem pendidikan pemerintah. Sebagai manifestasinya adalah dengan adanya persamaan ujian dan pengambilan jurusan. Dalam hal pengambilan jurusan, Salafiyah mengalami lika-liku dan proses yang panjang. Pertama kali Salafiyah mengikuti persamaan ujian tahu 80-an dan mengambil jurusan IPS. Semula induknya di Boyolali, Solo namun kemudian dialihkan Kanwil (DEPAG) ke Semarang. Pada era 80-an ini Madrasah Salafiyah dapat dikatakan masa bangkitya. Madrasah Salafiyah mempunyai siswa yang boleh dikata kuantitasnya dan kualitasnya terbaik di data statistik Semarang. Meski pada tahun 1980 kondisi KH. Baedlowie sedang sakit parah, tidak menghalangi perjuangan beliau untuk berjuang lewat jalur pendidikan. Dalam kondisi terbaring, KH. Baedlowie menganjurkan untuk memperluas spektrum ruang gerak Salafiyah. Pada tanggal 2 Pebruari 1981, lembaga tersebut dijadikan Yayasan yang diberi nama Yayasan Assalafiyah kedudukan tetap berpusat di desa Kajen Margoyoso Pati. Namun di tengah alur yang semakin membaik ini, datanglah sebuah berita duka pada subuh hari Jum̢۪at Pahing tanggal 3 Ramadhan 1402/25 Juni 1982 tentang wafatnya KH Baedlowi. Untuk pertama kalinya, Yayasan ini diketuai oleh KH. Faqihuddin yang juga menjadi pengasuh Pesantren Salafiyah. Untuk sekertarisnya dipegang saudara sepupunya, K. Masruhin dengan dibantu oleh saudara-saudara yang lain baik dari keturunan KH. Abdul Kohar, KH. Baidlowie maupun Nyai. Hj. Fathimah. Masa kepngurusannya hingga kini belum juga diadakan restrukturisasi meskipun ada beberapa personil yang sudah meninggal dunia. Pada era ini, Madrasah Salafiyah tetap melaju pesat. Penambahan-penambahan gedung tak dapat dielakkan lagi. Ada 18 Lokal untuk proses belajar mengajar. Untuk pelajar putra masuk pagi sedangkan pelajar putri masuk siang. Namun, pada era ini pihak pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mengenai jurusan untul Madrasah tingkat Aliyah. Dengan beberapa konsideran dan pertimbangan yang matang oleh para dewan guru, Madrasah Salafiyah mengganti jurusan IPS menjadi jurusan Agama. Pergantian ini terjadi pada tahun 1987. Siswa pada masa ini sudah mencapai 2000 orang dan kebanyakan berasal dari daerah Pati dan selebihnya dari kabupaten tetangga. Namun setelah delapan periode berlangsung, kebijakan pemerintah pusat menghapus jurusan agama jikalau tidak memenuhi syarat. Jurusan agama atau yang dsiebut MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan) hanya dilanjutkan jika memenuhi dua syarat, yaitu siswa-siswinya harus diasramakan dan harus ada tutor, tiap sepuluh anak memiliki satu tutor. Menimbang dua syarat tersebut tidak bisa dipenuhi maka Salafiyah memutuskan untuk membubarkan jurusan Agama dan mulai tahun 1994/1995 untuk kelas satu menjadi MAN (Madrasah Aliyah Negeri) dengan pilihan jurusan Sosial. Dan setahun kemudian dicoba membuka satu kelas MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan), namun baru berjalan setahun ternyata kurang mampu untuk mengimbangi kurikulum yang ada. Hingga akhirnya dileburkan kembali dalam jurusan Sosial. Pilihan ini tetap berjalan sampai sekarang (2001). Seputar penghapusan jurusan agama dan peralihannya ke jurusan IPS sebenarnya menjadi perbincangan sendiri. Para pengajar dan pengurus Yayasan Assalafiyah memberikan respons yang berbeda. Seperti pendapat Sholihul Hadi, Wali Aliyah, yang mengatakan bahwa peralihan jurusan tersebut akan mendatakan kesulitan baru bagi Salafuyah yakni kesulitan mendapatkan tenaga guru untuk jurusan IPS. Hal senada juga dikemukakan oleh HA, Soleh Ibrahim. Menurutnya, posisi Salafiyah saat ini cenderung menurun untuk bertindak dan bergerak yang lebih hati-hati. Karena diakuinya bahwa menciptakan bentuk pertimbangan antara ilmu agama dan ilmu dunia sangatlah rumit. Namun secara optimis, KH Ali Ajib Baedlowi mengatakan bahwa peralihan jurusan agama ke jurusan IPS tidak perlu dirisaukan karena Salafiyah mendapat peluang besar dalam mencapai idealismenya untuk menelorkan generasi paripurna akseleratif pada tuntutan eranya, mampu menjadikan seniman strategi yang layak tampil di masyarakat. Di astu sisi, generasi paripurna tersebut berperan sebagai cerdik cendekia yang ikut ambil bagian dalam penggarapan sains dan tehnologi dunia, memegang kendali laju IPTEK dan di sisi lain (sekaligus) sebagai ulama-ulama religius yang turut serta memberi corak keagamaan dalam dunia IPTEK, menanamkan unsur-unsur religi ke alam berbagai bidang tehnologi dan menjadi sosok pengayom masyarakat sehingga lengkaplah mereka berperan sebagai Khalifah fil ardhi. Menanggapi hal itu, KH. Muhibbi mengemukakan beberapa hal yang diperlukan agar tercipta siswa-siswi yang sesuai dengan krteria KH Ali Ajib, yaitu kegetolah guru dalam menyampaikan materi, kesadaran dan kesungguhan siswa menerima materi dan kecintaan siswa terhadap materi .

      Sejarah Tanah Fadak (Bag:3),

      Kapan Fatimah menuntut tanah Fadak? Mengapa Fatimah tidak menuntut tanah Fadak ke Ali, khalifah yang "sah"? Pertanyaan ini ternyata sering terlewatkan dari pikiran kita.
      Banyak cerita yang sering kita dengar, ternyata tidak benar. Kita mesti berpikir lagi tentang ukuran kebenaran sebuah cerita. Ternyata, ukuran bagi kebenaran sebuah cerita bukanlah dari siapa cerita itu kita dengar. Bisa jadi yang menceritakan adalah seorang ustadz yang kondang, atau buku yang dikemas sedemikian rupa agar nampak ilmiyah. Namun belum tentu cerita itu benar. Salah satunya adalah cerita pemukulan terhadap Fatimah, yang konon mengakibatkan tulang rusuknya patah dan janinnya gugur. Kita sebut saja peristiwa ini sebagai “peristiwa tulang rusuk”.
      Apakah kita masih perlu membahas peristiwa tulang rusuk? Bukankah peristiwa itu sudah terjadi di masa lalu, dan pembahasan kita hari ini tidak akan merubah peristiwa itu? Mestinya ada pertanyaan lain yang lebih mendasar, dan lebih penting untuk dipertanyakan, yaitu: Apakah peristiwa tulang rusuk benar-benar terjadi? Apakah kisah itu masih relevan untuk kita bahas hari ini? Nyatanya kisah itu masih menjadi bahasan bagi Syi’ah, khususnya ketika memprospek pengikut baru. Dengan tujuan untuk membunuh karakter para sahabat.
      Namun jika kita sedikit menggunakan logika, dan meneliti referensi-referensi yang ada, dapat kita temukan dengan mudah kejanggalan-kejanggalan pada peristiwa tulang rusuk. Sebenarnya tidak susah untuk menemukan kejanggalan-kejanggalan ini. Pada beberapa tulisan yang lalu kita membahas peristiwa tulang rusuk ini dari sisi riwayat, yang ternyata tidak ada riwayat yang jelas mengenai detil peristiwa itu, yaitu peristiwa pembakaran rumah, pemukulan terhadap Fatimah dan gugurnya janin. Kita sampai pada kesimpulan bahwa peristiwa tulang rusuk tercantum dalam banyak riwayat yang saling kontradiktif. Namun kali ini kita akan membahas dari sisi lain, dan akan kita hubungkan dengan peristiwa Fadak.
      Saat Fatimah meminta haknya atas tanah Fadak, dia memohonnya dari Abu bakar. Pertanyaannya, apa hubungan Abu Bakar dengan tanah Fadak? Inilah yang sampai saat ini tidak jelas. Apakah Abu Bakar memiliki kekuasaan atas tanah Fadak? Apakah Abu Bakar menduduki tanah Fadak dan menggunakan tanah itu untuk keperluan pribadinya? Atau ada alasan lain? Mengapa Fatimah meminta Fadak kepada Abu Bakar? Riwayat-riwayat yang ada –sepanjang pengetahuan kami– tidak menjelaskan alasan Fatimah. Di sisi lain, pembaca perlu ingat bahwa Abu Bakar telah diangkat menjadi khalifah oleh para sahabat Nabi, termasuk Ali sendiri ikut membaiat Abu Bakar.
      Ini bisa dipahami sebagai suatu bentuk pengakuan bahwa Abu Bakar adalah pimpinan kaum muslimin, yang berkompeten mengurus hal ihwal kaum muslimin. Kita sendiri sebagai contoh, jika ingin mengurus suatu urusan, kita menuju kantor yang berkompeten, untuk bertemu dengan orang yang berkompeten dalam urusan kita. Kita tidak menghadap ke KUA untuk mengurus SIM. Teman-teman kita yang ingin menikah tidak akan pergi menuju ke kantor pajak. Pergi ke kantor pajak untuk menikah adalah perbuatan yang tidak dilakukan oleh manusia normal hari ini. Sementara Fatimah merupakan figur yang ma’shum –menurut anggapan Syi’ah hari ini–, yang mencakup pengertian tidak pernah lupa, keliru, dan tidak berbuat kesalahan. Fatimah menghadap Abu Bakar sebelum Ali berbaiat, karena dalam kisah disebutkan bahwa Ali –yang konon gagah berani– dipaksa dan diseret untuk berbaiat kepada Abu Bakar. Fatimah menghadap Abu Bakar sebelum dirinya dipukul hingga tulang rusuknya patah, janinnya gugur dan tidak keluar rumah sampai wafatnya –menurut riwayat Syi’ah–.
      Jika memang Fatimah benar-benar ma’shum, terbebas dari salah dan lupa, maka tentunya ia tidak akan salah langkah. Pertanyaannya, mengapa Fatimah tidak menghadap kepada Ali sebagai pemegang tampuk imamah kaum muslimin? Malah menghadap kepada Abu Bakar yang dalam pandangan Syi’ah adalah imam yang merampok jabatan Ali? Atau ada kemungkinan lain, yaitu Fatimah menghadap Abu Bakar karena tahu bahwa Ali telah berbaiat kepada Abu Bakar, hingga Fatimah mengikuti suaminya dan mengakui Abu Bakar sebagai khalifah, yang juga telah dibaiat oleh imam Ali yang –konon– sebagai imam yang diberi mandat oleh Allah.
      Jika memang Ali telah berbaiat, maka untuk apa rumah Ali diserang, Fatimah dipukuli hingga tulang rusuknya patah, dan janinnya gugur? Padahal –menurut Syi’ah– penyerangan terhadap rumah Fatimah bertujuan memaksa Ali untuk berbaiat.
      Fatimah memiliki keberanian untuk menuntut haknya atas tanah Fadak, atas keyakinan bahwa Fadak adalah miliknya. Fatimah tidak takut persatuan kaum muslimin akan goncang ketika dia menuntut tanah Fadak. Namun Ali diam saja dan tidak melakukan apa-apa ketika amanat kenabian, ketika jabatan imamah dirampas oleh Abu Bakar. Sedangkan amanat dan wasiat Nabi sudah pasti lebih berharga dari sekedar tanah Fadak. Lalu yang kita heran, mengapa Fatimah menuntut sebidang tanah, lalu tidak menggugat dan menuntut Abu Bakar karena merampas imamah? Apakah tanah Fadak sudah sedemikian lebih berharga dibanding jabatan imamah yang diwasiatkan pada Ali??
      Siapa yang benar? Ali atau Fatimah?
      Jika Fatimah pergi menghadap Abu Bakar setelah “peristiwa tulang rusuk” maka anggapan bahwa Fatimah wafat akibat tulang rusuknya patah adalah sebuah kebohongan, karena bagaimana Fatimah bisa keluar dari rumah, pergi sendirian –tanpa ditemani oleh Ali– menghadap Abu Bakar untuk menuntut tanah Fadak, padahal tulang rusuknya patah, keguguran, dan sakit keras hingga tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumahnya sendirian, hingga Ali terpaksa menemani Fatimah di rumahnya. Sedangkan menurut Syi’ah, Fatimah tidak keluar rumah setelah peristiwa tulang rusuk, karena sakit, hingga wafatnya.
      Ada hal lain yang perlu kita pikirkan kembali, yaitu tentang malaikat Jibril yang mengunjungi Fatimah setelah Nabi wafat.
      Dari Ibnu Riab dan Abu ‘Auabidah dari Abu Abdullah mengatakan: “Fatimah hidup setelah ayahnya selama 75 hari, dengan menyimpan rasa sedih yang sangat karena ditinggal ayahnya, dan Jibril menunjungi Fatimah, menghiburnya dari kesedihan, serta memberitahukan tempat ayahnya di akherat, juga memberitahu apa yang kelak akan terjadi pada keturunannya, lalu Ali menulis semua itu, itulah mushaf Fatimah.” (Biharul Anwar, jilid. 22, hal. 545).
      Sementara Al-Kulaini meriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq, bahwa setelah Nabi wafat ada malaikat yang berbicara dengan Fatimah, dan menghibur kesedihannya, lalu Fatimah memberitahukan pada Ali tentang hal itu, lalu Ali berkata: “Jika engkau merasakan kedatangannya, dan mendengar suaranya, beritahukanlah padaku, lalu Fatimah memberitahu Ali tentang kedatangan malaikat, lalu Ali menulis seluruh apa yang didengar dari malaikat dan dijadikan sebagai sebuah mushaf, lalu berkata: Di dalamnya tidak ada mengenai halal dan haram, tetapi terdapat pengetahuan tentang apa yang akan terjadi.” (Al-Kafi, jilid. 1, hal. 240, Bashair Darajat, hal. 157, dan Biharul Anwar, jilid. 26, hal. 44, jilid. 43, hal. 80, dan jilid. 22, hal. 45).
      Al-Majlisi menyatakan, riwayat ini shahih, (Lihat: Mir’atul Uqul, jilid. 3, hal. 59, dan jilid. 5, Hal. 314).
      Ini artinya Jibril datang untuk menghibur Fatimah dan meringankan kesedihannya, di sini ada pertanyaan yang muncul, Apakah menghibur Fatimah lebih penting dari menjaga Fatimah, supaya janinnya tidak gugur dan tulang rusuknya tidak patah?
      Pertanyaan lain, jika memang Ali menulis dialog antara malaikat Jibril dengan Fatimah, apakah Ali menuliskan wahyu dari jibril tentang peristiwa tulang rusuk dan janinnya yang gugur, serta rumahnya yang dibakar para sahabat, ataukah malaikat Jibril memang tidak memperhatikan itu semua, dan sama sekali tidak membahas peristiwa tulang rusuk?
      Apakah Ali tidak menuliskan wahyu tentang dialog yang terjadi antara Fatimah dan Abu Bakar?
      Dalam kitab Al-Hujum ‘Ala Baiti Fatimah, oleh Abduz Zahra Mahdi, hal. 281-282 disebutkan:
      “Fatimah keluar membawa surat dari Abu Bakar, lalu bertemu Umar, Umar bertanya: Surat apa yang engkau bawa? Jawab Fatimah: Surat dari Abu Bakar untuk mengembalikan Fadak padaku. Umar berkata: Serahkan padaku, namun Fatimah enggan menyerahkannya, lalu ditendang oleh Umar, saat itu Fatimah sedang mengandung janin laki-laki yang diberi nama Muhsin, lalu janin Muhsin pun gugur, Umar pun menampar Fatimah…, lalu Umar mengambil surat itu dan merobeknya, lalu Fatimah sakit dan tinggal di rumah akibat dipukul Umar, lalu meninggal dunia.”
      Dalam Al-Ikhtishash, hal. 185, dan Biharul Anwar, jilid. 29, hal. 192
      Riwayat ini malah mengatakan lain, yaitu Abu Bakar telah memberikan surat penyerahan tanah Fadak kepada Fatimah. Lalu mengapa Abu Bakar selama ini dituduh menghalangi Fatimah untuk mengambil Fadak? Memang ada riwayat di Shahih Bukhari yang mengatakan demikian, namun mengapa Syi’ah lebih percaya Shahih Bukhari dari pada kitabnya sendiri?
      Yang jelas juga surat itu telah disobek oleh Umar, setelah Fatimah keluar dari tempat Abu Bakar, lalu Umar memukulnya hingga janinnya gugur, dan rusuknya patah. Berarti tidak ada cerita membakar dan mendobrak rumah? Lalu bagaimana? Mana yang benar?
      Dari Ali bin Ibrahim, dari ayahnya, dari Ibnu Abi Umair, dari Hisyam bin Salim, dari Abu Abdullah berkata: “Fatimah hidup sepeninggal ayahnya selama 75 hari, tidak pernah tersenyum dan tertawa, mendatangi kubur para syuhada setiap minggu dua kali, senin dan kami, lalu berkata: Di sini Rasulullah berdiri, dan di situ tempat kaum musyrikin. (Al-Kafi, jilid. 3, hal. 229).
      Riwayat ini dinyatakan shahih dalam beberapa kitab Syi’ah:
      Madarikul Ahkam fi Syarhi Ibadat Syara’i’ Al-Islam, oleh Muhammad bin Ali Al-Musawi, jilid. 8, hal. 472-473.
      Raudhatul Muttaqin fi Syarh Man La Yahdhuruhul Faqih, oleh Al-Majlisi Al-Awwal, Muhammad Taqiy bin Maqsud Ali Al-Asfahani, jilid. 5, hal. 341-342.
      Kasyful Litsam wal Ibham ‘an Qawaidil Ahkam, oleh Al-Fadhil Al-Hindi Muhamamd bin Hasan bin Muhammad Al-Asbahani, jilid. 6, hal. 279-280.
      Al-Hadaiq An-Nadhirah fi Ahkam ‘Itrah Thahirah, jilid. 4, hal. 170-171.
      Jawahirul Kalam fi Syarhi Syara’i’ Al-Islam, oleh Muhammad bin Hasan An Najafi, jilid. 20, hal. 87-88.
      Muhadzabul Ahkam fi Bayanil Halal wal Haram, jilid. 5, hal. 212-213.
      Abdul A’la Al-Sabzawari, jilid. 15, hal. 58-59.
      Madarikul ‘Urwah, Al-Isytahardi, jilid. 14, hal. 71-72.
      Imam Ma’shum menyatakan bahwa Fatimah berziarah ke kuburan secara teratur selama 75 hari, pada masa sisa hidupnya setelah Nabi wafat, Fatimah tidak tersenyum dan tertawa selama itu.
      Banyak pertanyaan –yang susah terjawab– muncul ketika kita menggunakan pikiran kita untuk menelaah.
      Bagaimana mungkin Fatimah yang rusuknya patah, janinnya gugur, tinggal di rumah hingga wafatnya, berziarah ke kubur secara teratur?? [hakekat/syiahindonesia.com]. Wallohu a`lam bishowab
      < Sebelumnya)



      Sejarah Tanah Fadak (Bag:2)

      Pertanyaan penting yang harus kita tanyakan pada diri kita sendiri, sebagai hamba Allah yang dikaruniai pikiran untuk menelaah segala sesuatu.
      Syi'ah Rafidhah banyak menuduh Abu Bakar membenci dan sengaja membuat Fatimah marah dan barang siapa membencinya berarti membenci Rasul SAW.
      Diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim dari hadist Al-Miswar bin Makhramah berkata: “Sesungguhnya Ali telah melamar putri Abu Jahal, Fatimah mendengarnya lantas ia menemui Rasul SAW, berkatalah Fatimah: "Kaummu menyangka bahwa engkau tidak pernah marah membela anak putrimu dan sekarang Ali akan menikahi putri Abu Jahal," maka berdirilah Rasulullah SAW mendengar kesaksiannya dan berkata: "Setelah selesai menikahkan beritahu saya, sesunggunhya Fatimah itu bagian dari saya, dan saya sangat membenci orang yang menyakitinya. Demi Allah, putri Rasulullah dan putri musuh Allah tidak pernah akan berkumpul dalam pangkuan seorang laki-laki." Maka kemudian Ali tidak jadi melamar putri Abu Jahal (khitbah itu).” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Fadhailu Shahabat).
      Riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah SAW berkata: "Fatimah bagian diriku, barang siapa memarahinya berarti memarahiku." (HR. Al-Bukhari, Fadhailu Shahabat, Fathul Bari 7/78 H. 3714).
      Maka tampak jelas bahwa yang pantas dipahami dari hadis tersebut adalah Ali melamar putri Abu Jahal dan membuat Fatimah marah. Dengan ini, bila hadist tersebut diterapkan pada setiap orang yang membenci Fatimah maka Ali adalah orang pertama yang termasuk menyakitinya.
      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata saat membantah keyakinan Rafidhah dalam permasalahan ini. Hadist ini disebabkan lamaran Ali terhadap putri Abu Jahal, penyebab yang masuk dalam sebuah lafadh itu menjadi pasti, dimana setiap lafadh yang berlaku pada suatu sebab tidak boleh dikeluarkan penyebabnya bahkan penyebab yang harus masuk. Disebutkan dalam sebuah hadist (apa yang meragukannya menjadikanku ragu dan yang menyakitkannya menyakitkanku).
      Dan yang dapat dipahami dengan pasti adalah bahwa lamaran terhadap putri Abu Jahal adalah meragukan dan menyakitkan. Nabi SAW dalam hal ini merasa ragu dan menyakitkan. Apabila ini merupakan sebuah ancaman yang harus ditimpakan pada Ali bin Abi Thalib dan bila bukan ancaman yang harus ditimpakan pada pelakunya maka Abu Bakar lebih jauh dari ancaman dari pada Ali.
      Diriwayatkan dari Fatimah Radhiyallahu ‘anha sesungguhnya ia setelah peristiwa itu rela terhadap Abu Bakar. Berdasarkan riwayat Baihaqi dengan sanad dari Sya’bi ia berkata: “Tatkala Fatimah sakit, Abu Bakar menengok dan meminta izin kepadanya, Ali berkata: "Wahai Fatimah ini, Abu Bakar minta izin." Fatimah berkata: "Apakah kau setuju aku mengizinkan?", Ali berkata: "Ya." Maka Fatimah mengizinkan, maka Abu Bakar masuk dan Fatimah memaafkan Abu Bakar. Abu Bakar berkata: "Demi Allah saya tidak pernah meninggalkan harta, rumah, keluarga, kerabat kecuali semata-mata karena mencari ridha Allah, Rasul-Nya dan kalian keluarga Nabi." (As-Sunan Al-Kubra, Lil Baihaqi, 6/301).
      Ibnu Katsir berkata: “Ini suatu isnad yang kuat dan baik yang jelas Amir mendengarnya dari Ali atau dari seseorang yang mendengarnya dari Ali. (Al-Bidayah Wa An-Nihaayah, 5/252).
      Dengan demikian terbantah sudah cacian Rafidhah terhadap Abu Bakar yang dikaitkan dengan marahnya Fatimah terhadapnya dan bila memang Fatimah marah pada awalnya namun kemudian sadar dan meninggal dalam keadaan memaafkan Abu Bakar.
      Hal ini tidak berlawanan dengan apa yang tersebut dalam hadist Aisyah yang lalu. "Sesungguhnya ia marah pada Abu Bakar lalu didiamkan sampai akhir hayatnya" hal ini sebatas pengetahuan Aisyah Radhiyallahu ‘anhasaja.
      Sedang hadist riwayat Sya’bi menambah pengertian kita bahwa Abu Bakar menjenguk Fatimah dan berbicara dengan Abu Bakar serta memaafkan Abu Bakar: Aisyah dalam hal ini menafikan dan Asya’bi menetapkan.
      Para ulama memahami bahwa ucapan yang menetapkan lebih didahulukan dari pada yang menafikan, karena kemungkinan suatu ketetapan sudah bisa didapatkan tanpa memahami penafian terutama dalam masalah ini, yaitu kunjungan Abu Bakar terhadap Fatimah bukan suatu peristiwa yang besar dan didengar di masyarakat.
      Apa yang telah para ulama ungkapkan tentang Fatimah adalah bahwa ia sama sekali tidak memboikot Abu Bakar. Rasul pun telah melarang kita memboikot seseorang lebih dari tiga hari. Sedang Fatimah tidak berbicara dengannya karena memang sedang tidak ada yang harus dibicarakan.
      Al-Qurthubi berkata seputar penjelasan hadist Aisyah: “Sesungguhnya tidak bertemunya Fatimah dengan Abu Bakar karena kesibukannya dalam menerima cobaan yang menimpanya dan kala keberadaannya selalu di rumah, rawi menggambarkan sebagai memutuskan hubungan. Padahal Rasul sudah bersabda bahwa tidak diperbolehkan bagi orang Islam untuk memutuskan hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari. Padahal Fatimah orang yang paling tahu apa yang dihalalkan dan diharamkan. Juga orang yang paling jauh dari perselisihan dengan Rasul.” (Hadist Al-Bukhari. Riwayat Abu Ayyub Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu, Lihat kitab: Fathul Bari, 10-492).
      Dengan demikian tampaklah yang benar dalam masalah ini dan hancurlah kebatilan yang dituduhkan oleh Syi'ah Rafidhah, dan terjawab sudah apa yang dituduhkan oleh Rafidhah terhadap hubungan Fatimah dan Abu Bakar.
      "WARISAN" DALAM AJARAN SYI'AH
      Tertulis dalam kitab-kitab Syi'ah Rafidhah berkenaan masalah warisan, diantara catatan yang paling penting adalah bahwa para wanita itu tidak mendapatkan warisan rumah tinggal.
      Berkatalah Muhammad bin Hasan dari Jafar bin Basyir dari Hasan dari Abi Murkholid dari Abdul Malik berkata: “Suatu hari Abu Jafar memperlihatkan tulisan Ali dalam tulisan/catatan: "Bahwa para kaum wanita itu tidak berhak medapatkan warisan rumah tinggal bila ditinggal mati oleh lelakinya (suaminya)." Abu Jafar berkata: "Demi Allah ini adalah tulisan tangan Ali…" (Biharul Anwar, jilid. 26, hal. 514).
      Dari Ali dari ayahnya, dari Jamil dari kerabatnya dan Muhammad bin Muslim dari Abi Jafar berkata: "Wanita-wanita itu tidak dapat mewarisi sedikitpun dari tempat tingal di muka bumi ini." (Al-Kaafi, juz. 7, hal. 128).
      Pertanyaan untuk kaum Syi'ah:
      Bagaimana Fatimah menuntut sesuatu yang diharamkan terhadap kaum wanita berdasarkan madzhab Syi'ah Rafidhah?
      Kenapa Abu Bakar dituntut untuk melakukan hal yang diharamkan?
      Kenapa Fatimah tidak mengikuti perintah Rasul setelah tuntutannya terhadap warisan?
      Apakah Fatimah keliru, wahai Rafidhah???
      Syi'ah berkata bahwa Abu Bakar telah menyelisihi ayat yang tertera dalam surat An-Nisa’. Dan membuat argumentasi dengan ayat lainnya dan ayat tentang doa Zakariya terhadap Allah agar memberikan warisan.
      Jawabannya adalah: Bahwa ayat tersebut tidak untuk umum seperti kisah Sulaiman - Zakariya yang tidak berkaitan dengan kepentingan harta benda. Namun orang-orang Syi'ah memahami secara umum tanpa menghiraukan pengecualian dan pengkhususan. Kemudian mereka mencaci maki Abu Bakar yang tidak memberikan warisan pada Fatimah Az-Zahra dari harta peninggalan Nabi. Karena menurut Syi'ah: Fatimah pernah berkata: "Wahai anak Abi Quhafah, engkau telah mewarisi dari ayahmu sedang saya tidak mendapat warisan dari ayahku."
      Riwayat ini tidak Mutawatir bahkan Ahad, maka tidak boleh men-takhsis ayat Al-Qur’an dengan hadits Ahaddengan sebuah petunjuk/dasar bahwa Umar bin Khattab menolak berita Fatimah binti Qois bahwa ayahnya tidak memberi rumah dan nafkah.
      Berbeda dengan firman Allah tentang kisah Nabi Zakaria ‘Alaihis salam agar Allah memberikan warisan kepadanya dan keluarga Ya’qub ‘Alaihis salam. Hal ini amat jelas bahwa para Nabi itu mewarisi dan mewariskan.
      Jawabannya: Bahwa hadits ini telah diriwayatkan oleh Khudzaifah bin Al-Yaman, Zubair bin Awam, Abu Darda’, Abu Hurairah, Al-Abbas, Ali, Ustman, Abdurrahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin Abi Waqas.
      Telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Malik bin Aus bin Al-Hadatsan bahwa Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu berkata di depan para sahabat dimana di sana ada Ali, Abbas, Ustman, Abdurrahman bin ‘Auf, Zubair bin Awam dan Sa’ad bin Abi Waqas: "Saya bersumpah, demi Allah yang dengan izinnya terwujudlah langit dan bumi, tahukah kalian bahwa Rasulullah SAW berkata: “Kami tidak mewariskan yang kami tinggalkan sebagai sedekah?" Mereka menjawab: "Benar," kemudian Umar menghadap ke arah Ali dan Abbas dan berkata: "Saya bersaksi kepada Allah, tahukah kalian bahwa Rasul pernah berkata begitu?”, lalu keduanya menjawab: "Ya.”
      Adapun suatu ucapan bahwa riwayat itu tidak ada yang tahu kecuali Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu. Ternyata riwayat di atas justru ada dalam kitab Syi'ah, diriwayatkan Al-Kulaini dalam kitab Al-Kaafi dari Al-Bukthtari dari Abi Abdillah Jafar As-Shadiq Radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya ia berkata: "Sesungguhnya ulama itu pewaris para Nabi dan para Nabi tidak mewariskan dirham atau dinar, melainkan mewariskan beberapa hadist, barang siapa telah mengambil sebagiannya berarti telah mengambil bagian yang sempurna."
      Warisan yang benar adalah warisan ilmu dan kenabian dan kesempurnaan kepribadian, bukan mewariskan harta benda dan uang.
      Termasuk ajaran Syi'ah yang masuk dalam pembahasan disini adalah bila Nabi tidak mewariskan sesuatu kepada seseorang, kenapa istri-istrinya yang suci mewarisi tempat tidurnya?
      Jawabannya: Semua itu salah, karena mengkhususkan tempat tidur kepada para suami itu semata-mata memang hak milik mereka bukan karena adanya semacam warisan, memang Nabi juga telah membuat dua kamar, satu untuk Fatimah dan satu untuk Usamah dan menyerahkannya dan sesuatu yang telah diberikan dari Nabi maka mereka berhak berbuat apa saja, karena benda itu sudah menjadi miliknya.[hakekat/syiahindonesia.com].


      < Sebelumnya                  Berikutnya >

      Sejarah Tanah Fadak (Bag :1)

      Bukannya ikut membela Fatimah –putri baginda Nabi SAW– Ali malah membela keputusan Abu Bakar yang dituduh Syi’ah menzhalimi Fatimah, sebenarnya siapa yang zhalim? Abu Bakar yang melaksanakan wasiat Nabi SAW atau Syi’ah yang menggugat imamnya yang ma’shum?


      Syi’ah selalu mengupayakan pembunuhan karakter terhadap Abu Bakar As-Shiddiq dengan mengangkat masalah Fadak, yang menurut Fatimah menjadi miliknya setelah wafatnya Nabi SAW. Tapi mari kita lihat sisi lain dari persoalan ini, sisi lain yang jarang diungkap oleh Syi’ah sendiri.


      Sebuah pertanyaan penting, jika memang tanah Fadak itu adalah benar milik Fatimah, apakah kepemilikan itu gugur setelah Fatimah wafat? Tentunya tidak, artinya ahli waris dari Fatimah yaitu Ali, Hasan, Husein dan Ummi Kultsum tetap berhak mewarisi harta Fatimah. Begitu juga ahli waris Nabi bukan hanya Fatimah, melainkan juga Abbas pamannya. Sejarah tidak pernah mencatat adanya upaya dari Abbas paman Nabi utnuk menuntut harta warisan seperti yang dilakukan oleh Fatimah. Selama ini Syi’ah selalu melakukan black campaign terhadap Abu Bakar yang dituduh menghalangi Fatimah untuk mendapatkan warisannya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika kita membaca riwayat-riwayat dari kitab Syi’ah sendiri yang memuat pernyataan para imam Syi’ah –yang tidak pernah keliru– yang setuju dengan keputusan Abu Bakar. Seakan-akan para imam Syi’ah begitu saja bertaklid buta pada Abu Bakar As-Shiddiq.


      Sampai hari ini Syi’ah masih terus menangisi tragedi Fatimah yang dihalangi oleh Abu Bakar dari mengambil harta warisan, tapi ternyata Ali setuju dengan keputusan Abu Bakar. Apakah Ali setuju dengan keputusan Abu Bakar yang menyakiti Fatimah? Ataukah keputusan Abu Bakar adalah tepat karena didukung oleh pernyataan dari imam ma’shum? Karena Imam ma’shum tidak pernah salah.


      Salah seorang ulama Syi’ah bernama Al-Murtadho Alamul Huda –saudara kandung As-Syarif Ar-Radhiy, penyusun kitab Nahjul Balaghah– menyatakan: “Saat Ali menjabat khalifah, ada orang yang mengusulkan agar Ali mengambil kembali tanah Fadak,” lalu dia berkata: “Saya malu pada Allah untuk merubah apa yang diputuskan oleh Abu Bakar dan diteruskan oleh Umar.” (Bisa dilihat dalam kitab, As-Syafi, hal. 213).


      Ketika Abu Ja’far Muhammad bin Ali yang juga dijuluki Al-Baqir –Imam Syi’ah yang kelima– saat ditanya oleh Katsir An-Nawwal yang bertanya: “Semoga Allah menjadikan aku sebagai tebusanmu, apakah Abu Bakar dan Umar mengambil hak kalian?”, dia menjawab: “Tidak, demi Allah yang menurunkan Al-Qur’an pada hamba-Nya untuk menjadi peringatan bagi penjuru alam, mereka berdua tidak menzhalimi kami meskipun seberat biji sawi,” Katsir bertanya lagi: “Semoga aku dijadikan tebusanmu, apakah aku harus mencintai mereka?” Imam Al-Baqir menjawab: “Iya, celakalah kamu, cintailah mereka di dunia dan akherat, dan apa yang terjadi padamu karena itu ialah menjadi tanggunganku.” (Bisa dilihat di Syarah Nahjul Balaghah, jilid. 4, hal. 84).


      Begitu juga Al-Majlisi yang biasanya bersikap keras terhadap sahabat Nabi terpaksa mengatakan: Ketika Abu Bakar melihat kemarahan Fatimah dia mengatakan: “Aku tidak mengingkari keutamaanmu dan kedekatanmu pada Rasulullah SAW, aku melarangmu mengambil tanah Fadak hanya karena melaksanakan perintah Rasulullah, sungguh Allah menjadi saksi bahwa aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Kami para Nabi tidak mewarisi, kami hanya meninggalkan Al-Qur’an, hikmah dan ilmu, aku memutuskan ini dengan kesepakatan kaum muslimin dan bukan keputusanku sendiri, jika kamu menginginkan harta maka ambillah hartaku sesukamu karena kamu adalah kesayangan ayahmu dan ibu yang baik bagi anak-anakmu, tidak ada yang bisa mengingkari keutamaanmu.’” (Bisa dilihat dalam kitab Haqqul Yaqin, hal. 201-202).


      Ibnul Maitsam dalam Syarah Nahjul Balaghah meriwayatkan kisah berikut:


      “Abu Bakar mengatakan kepada Fatimah: ‘Kamu akan mendapat bagian seperti ayahmu, Rasulullah SAW mengambil dari tanah Fadak untuk kehidupan sehari-hari, dan membagikan lainnya serta mengambil untuk bekal berjihad, aku akan berbuat seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, Fatimah pun rela akan hal itu dan berjanji akan menerimanya.’” (Syarah Nahjul Balaghah, Ibnul Maitsam Al-Bahrani, jilid. 5, hal. 107, Cet. Teheran).


      Sama seperti yang diriwayatkan oleh Ibnul Maitsam, Al-Danbali dan Ibnu Abil Hadid:


      “Bahwa Abu Bakar mengambil hasil Fadak dan menyerahkannya pada Ahlul Bait secukup kehidupan mereka, begitu juga Umar, Utsman dan Ali. (Bisa dilihat di kitab Syarah Nahjul Balaghah, karangan Ibnu Maitsam dan Ibnu Abil Hadid, juga dalam kitab Durah An-Najafiyah, hal. 332).


      Ternyata imam ma’shum mengakui keputusan Abu Bakar dalam masalah Fadak, walaupun demikian Syi’ah tetap saja menangisi Fatimah yang konon dizhalimi oleh Abu Bakar. Tetapi yang aneh, imam Ali –yang konon ma’shum– bukannya ikut membantu Fatimah merebut harta miliknya tetapi malah menyetujui keputusan Abu Bakar.


      Keputusan Abu Bakar yang dianggap Syi’ah sebagai keputusan yang keliru dan kezhaliman malah didukung oleh imam ma’shum. Berarti imam ma’shum ikut berperan serta menzhalimi Fatimah. Tetapi Syi’ah tidak pernah marah pada imam ma’shum, yang dijadikan objek kemarahan hanyalah Abu Bakar.


      Abu Bakar benar dalam keputusannya, dengan bukti dukungan imam ma’shum atas keputusannya itu. Jika imam ma’shum melakukan kesalahan maka dia tidak ma’shum lagi.


      Tetapi –seperti biasanya– kenyataan ini ditutup rapat-rapat oleh Syi’ah, sehingga barangkali anda hanya bisa menemukannya di situs ini. Syi’ah selalu menuduh Bani Umayah memalsukan sejarah, padahal Syi’ah selalu mengikuti jejak mereka yang dituduh memalsu sejarah. [hakekat/syiahindonesia.com].



      Berikutnya >

      Ahli Tafsir Zaman Shohabat

      Ahli Tafsir Golongan Sahabat

      Beberapa ahli tafsir yang memiliki kemampuan baik dan cukup berpengaruh dalam perkembangan ilmu tafsir.

      Imam Suyuthy dalam kitabnya Al-Itqan mengatakan:

      “Kalangan sahabat yang populer dengan tafsir ada sepuluh; khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali), Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay Ibnu Ka’ab, Zaid Ibnu Tsabit, Abu Musa Al-’Asy’ari dan Abdullah bin Zubair. Dan dari kalangan khalifah empat yang paling banyak dikenal riwayatnya tentang tafsir adalah Ali bin Abi Thalib r.a. sedang dari tiga khalifah yang lain hanya sedikit sekali, karena mereka lebih terdahulu wafatnya.

      Sebab sedikitnya riwayat dari ketiga orang sahabat yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman, dapat ditinjau kembali dari pendapat As-Suyuthy, yaitu karena pendeknya masa jabatan mereka disamping mereka meninggal lebih dahulu. Dari segi yang lain karena mereka bertiga hidup pada suatu masa dimana kebanyakan penduduk mengetahui dan pandai tentang Kitabullah, sebab mereka selalu mendampingi Rasulullah SAW. Karenanya, mereka mengerti dasar rahasia-rahasia penurunan, lagi pula mengetahui makna dan hukum-hukum yang terkandung dalam ayatnya. Sedang Ali r.a. hidup berkuasa setelah khalifah yang ketiga, yaitu pada masa dimana daerah Islam telah meluas. Banyak orang-orang luar Arab yang memeluk Islam sebagai agama baru. Generasi keturunan shahabat banyak yang merasa perlu untuk mempelajari Al-Qur’an serta memahami rahasia-rahasia dan hikmah-hikmahnya. Karena itu wajarlah riwayat daripadanya begitu banyak melebihi riwayat yang dinukil dari tiga khalifah lainnya.

      Berikut ini kami akan membicarakan sedikit terperinci tentang kalangan sahabat yang terkenal dengan tafsir Al-Qur’annya.




      a. Abdullah Ibnu Abbas

      Abdullah Ibnu Abbas adalah orang yang ternama dikalangan ummat Islam. Ia adalah anak paman Rasulullah SAW, yang pernah dido’akan oleh Nabi Muhammad SAW, dengan kata-kata, “Ya Allah berilah pemahaman tentang urusan agama dan berilah ilmu kepadanya tentang ta’wil”. Ia dikenal sebagai ahli bahasa/penterjemah Al-Qur’an. Ibnu Mas’ud berkata, “Penterjemah Al-Qur’an yang paling baik adalah Abdullah bin Abbas.” Dia adalah sahabat yang paling pandai/tahu tentang tafsir Al-Qur’an. Pada waktu beliau masih berusia muda, para pemuka sahabat mereka telah menyaksikan kebolehannya bahkan ia dapat menandingi mereka pula dapat menggugah keajaiban mereka dengan usianya yang sangal muda. Umar r.a. pernah mengikutsertakan Abdullah dalam Majelis Permusyawaratan bersama-sama dengan tokoh-tokoh Sahabat untuk bermusyawarah. Ia seringkali disodori permasalahan. Karena Umar menampilkan Ibnu Abbas maka agak sedikit mengundang perdebatan dikalangan sahabat. Diantara mereka ada yang mengatakan “Kenapa anak kecil ini dimasukkan bersama-sama kita”. Kami punya anak yang lebih besar/tua umurnya dibanding dengan dia.Dia mempunyai biografi yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya yang menunjukkan kebolehan ilmunya dan kedudukannya yang tinggi dalam hal penggalian secara mendalam tentang rahasia-rahasia Al-Qur’an sebagai berikut:




      Riwayat Al-Bukhari

      Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa’id ibnu Jabir, dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: “Umar mengikutkanku bersama tokoh-tokoh perang Badar. Dikalangan mereka ada yang bertanya dalam dirinya, lalu mengemukakan pendapat; “Kenapa anak ini diikutsertakan bersama kami padahal kami sungguh mempunyai anak yang seusia dengannya?” Umar menjawab: Dia adalah seorang yang sudah kalian ketahui, ia adalah orang yang terkenal kecerdasannya dan pengetahuannya. Pada suatu ketika, Umar memanggil mereka dan mengikutkanku bersama mereka hanya sekedar diperkenalkan kepada mereka. Tiba-tiba Umar (memberi kesempatan pada mereka untuk bertanya) berkata: “Apakah pendapat sekalian tentang firman Allah: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. (QS. An-Nashr: 1).




      Sebagian mereka ada yang berpendapat: “Kami diperintah menuju Allah dan meminta ampun pada-Nya, tatkala kami dibantu oleh-Nya dan diberi kemenangan”. Sebagain mereka yang lain bungkam seribu bahasa. Umar bertanya kepadaku: Bagaimana dengan pendapatmu (hai Ibnu Abbas). Aku jawab: “Tidak benar! Lalu menurut anda bagaimana?” Aku menjawab:“Persoalannya adalah tentang ajal Rasulullah SAW dimana Allah memberitahukan kepadanya”.

      Ia (Ibnu Abbas) menafsirkan/penaklukan Makkah. Itu adalah suatu tanda tentang ajalmu (hai Muhammad) karena itu bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan istighfarlah (mohon ampun) kepada-Nya. Sungguh ia adalah Penerima Taubat”. Seraya Umar berkata: “Demi Allah, saya tidak mengetahui kandungannya sebelum engkau jelaskan”.




      Kisah tersebut menyatakan begitu hebatnya daya kemampuan pemahaman serta pendapat Ibnu Abbas dalam menyimpulkan petunjuk Al-Qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali oleh orang-orang yang mendalam ilmu pengetahuannya. Tidaklah aneh kalau Ibnu Abbas menempati kedudukan yang tinggi dalam memahami rahasia kandungan Al-Qur’an karena Rasul telah mendo’akannya agar dia diberi pemahaman dan pendalaman dalam urusan Agama sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas sendiri dimana ia berkata: Rasul menyekapku seraya beliau bersabda:

      “Ya Allah berilah ia pemahaman dalam urusan Agama dan berilah ia pengetahuan tentang ta’wil”.

      Dalam riwayat lain redaksionalnya: “Ya Allah berilah ia pengetahuan tentang hikmah pengetahuan yang sungguh mendalam”. Ibnu Abbas dikenal dengan sebutan lautan karena begitu luas ilmunya. Diriwayatkan bahwa salah seorang datang kepada Abdullah bin Umar, ia menanyakan tentang langit dan bumi semula bersatu kemudian keduanya kami belah. Ibnu Umar menjawab: “Datanglah kepada Ibnu Abbas dan tanyakanlah kepadanya.” Setelah anda tanyakan, kembali lagi dan jelaskan kepadaku”. Orang tersebut pergi bertanya kepada Ibnu Abbas dan ia memberikan jawaban: “Langit bersatu (ratqan) maksudnya tidak turun hujan, dan yang dimaksud dengan bumi ratqan tidak tumbuh tanaman/gersang, kemudian Ia (Allah) menurunkan hujan dan menumbuhkan tanaman-tanaman. Setelah itu orang tersebut kembali kepada Ibnu Umar untuk memberitahukan hasilnya, seraya berkata: “Aku dulu telah mengatakan dengan geleng kepala karena keberanian Ibnu Abbas dalam hal menafsirkan Al-Qur’an, sekarang aku telah mengetahui benar bahwa ia telah dikaruniai ilmu”.




      Diriwayatkan pula bahwa Umar ibnu Khattab pada suatu ketika bertanya kepada Sahabat-sahabat Nabi: “Siapa yang menjadi sebab turunnya ayat di bawah ini, menurut pendapat kalian?” Seraya Umar membacakan ayat: “Apakah ada salah seorang diantaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur……” (QS. Al-Baqarah: 66)

      Mereka menjawab: “Allah Yang Maha Tahu”. Umar marah seraya berkata: “Jawab! Tahu atau tidak!” Ibnu Abbas menjawab: “Ada sedikit yang tergores dalam hatiku”. Umar berkata: “Hai anak saudaraku, katakanlah dan janganlah anda merasa minder/rendah diri”. Ibnu Abbas berkata: “ayat itu dijadikan suatu contoh perbuatan”. Umar berkata: “Perbuatan apa?”. Ibnu Abbas menjawab: “Seorang yang kaya lagi taat kepada Allah, ia didatangi oleh syaitan, dan terperdaya untuk melakukan maksiat sehingga amal perbuatannya tenggelam”. (HR. Al-Bukhari).

      Semuanya itu berikut dengan contoh-contohnya adalah menyatakan tentang keistimewaan ilmu pengetahuan Ibnu Abbas dan pemahamannya yang begitu luas sejak beliau berusia muda. Oleh karena itu ia tergolong dalam barisan tokoh pembesar Sahabat, ia sebagai pemuka umat yang sangat pandai dengan disaksikan oleh kalangan Sahabat itu sendiri.

      Guru-guru Ibnu Abbas

      Diantara Guru-guru besar yang mengajar ilmu kepada Ibnu Abbas selain Rasulullah SAW, yang mempunyai pengaruh yang menonjol terhadap daya pikiran dan kebudayaannya, antara lain Umar Ibnu Khattab, Ubay ibnu Ka’ab, Ali Ibnu Abi Thalib, dan Zaid Ibnu Tsabit. Kelima orang tersebut adalah guru-gurunya yang tetap. Dari merekalah hampir semua ilmu dan budayanya didapat. Mereka sangat berpengaruh dalam mengarahkan Ibnu Abbas kepada masalah ilmu pengetahuan yang sangat mendalam.




      Murid-murid Ibnu Abbas Banyak dari kalangan Tabi’in yang mempelajari ilmu pengetahuan dari Ibnu Abbas. Diantara mereka yang paling terkenal adalah murid-muridnya yang menukil tafsir dan ilmunya yang melimpah ruah. yaitu: Sa’id Ibnu Jubair, Mujahid ibnu Jabar Al-Khazramy, Thawus ibnu Kysan Al-Yamany, Ikrimah Maula (hamba) yang dimerdekakan oleh Ibnu Abbas, Atha’ ibnu Abi Rabbah. Mereka itu adalah murid-murid yang paling terkenal dimana mereka memindahkan lembaga ilmiah, buah pena Ibnu Abbas ke dalam tafsir yang sampai pada kita sekarang.




      b. Abdullah Ibnu Mas’ud

      Sahabat lain yang terkenal sebagai ahli tafsir dan menukilkan atsar (hadits) Rasul kepada kita ialah Abdullah ibnu Mas’ud r.a. Ia adalah salah seorang yang pertama untuk Islam. Usia beliau pada waktu itu enam tahun, dimana belum ada di muka bumi ini seorang anak yang masuk Islam selain dia. Ia adalah seorang pembantu Rasulullah SAW, sering memakaikan sandalnya dan sarung, pergi bersama-sama beliau sebagai penunjuk jalan. Dari segi hubungan kenabian ia adalah seorang yang sangat baik lagi pula terdidik. Karena pertimbangan itulah sahabat lain memandangnya sebagai seorang sahabat yang lebih banyak mengetahui bidang Kitabullah Al-Qur’an, mengetahui tentang muhkam dan mutasyabih, halal dan haram.

      As-Suyuthy mengatakan: “Yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud tentang tafsir adalah lebih banyak daripada yang diriwayatan dari Ali…….”.

      Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud: “Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya. tidak ada satu suratpun yang diturunkan oleh Allah yang tidak saya ketahui dimana turunnya. Tidak ada satu ayat Al-Qur’an pun yang tidak saya ketahui dalam kasus apa diturunkannya. Kalau aku tahu ada seorang yang lebih tahu dariku tentang Kitab Allah dan bisa ditempuh dengan kendaraan unta, niscaya akan kudatangi rumahnya…..”. Diriwayatkan oleh para Tabi’in daripadanya.

      Biografi Imam Syafi`i (Bag: 4 selesai)

      Sahabat dan murid-murid Beliau

      Ar Rabi’i bin Sulaiman al Muradi (174 – 270 H)
      Beliau ini adalah murid langsung dari Imam Syafi’i Rhl., dibawa dari Bagdad sampai ke Mesir. lahirtahun 174H. (wafat tahun 270 H.).
      Beliau inilah yang membantu Imam Syafi’i Rhl. menulis kitabnya Al Umm dan kitab Ushul Fiqih yang pertama di dunia, yaitu Kitab Risalah al Jadidah.
      Berkata Muhammad bin Hamdan : “Saya datang ke rumah Rabi’I pada suatu hari, di mana didapati di hadapan rumahnya 700 kendaraan membawa orang yang datang mempelaja,ri kitab Syafi’i dari beliau”.
      Ini suatu bukti bahwa Ar Rabi’i bin Sulaiman al Muradi adalah seorang yang utama, penyiar dan penyebar Madzhab Syafi’i Rhl. dalam abad-abadnya yang pertama.
      Tersebut dalam kitab Al Majmu’ halaman 70, kalau ada perkataan “sahabat kita ar Rabi’i” maka maksudnya adalah Ar Rabi’i bin Sulaiman al Muradi ini.
      Di dalam kitab Al Muhadzab tidak ada “Ar Rabi’i selain ar Rabi’i ini, kecuali satu Ar Rabi’i dalam masalah menyamak kulit yang bukan Ar Rabi’i ini, tetapi Ar Rabi’i bin Sulaiman al Jizi. (Beliau ini adalah sahabat Imam Syafi’i Rhl. juga).

      Al Muzany (175 – 264 H)

      Nama lengkap beliau adalah Imam Abu lbrahim Ismail bin Yatya Al Muzani, lahir di Mesir 175 H dan 25 tahun lebih muda dari Imam Syafi’i Rhl. Imam Syafi’i Rhl. pernah berkata tentang sahabatnya ini, bahwa Al Muzani adalah pembela Madzhabnya. Setelah Imam al Buwaithi ditangkap maka al Muzany menggantikan kedudukannya dalam halaqoh Imam syafi’i itu sampai beliau wafat pada tahun 264 H. (60 tahun terkemudian dari Imam Syafi’ i Rhl.).
      Beliau adalah seorang ulama yang saleh, zuhud dan rendah hati. Beliau banyak mengarang kitab fiqih Syafi’ iyah, seumpama :


      l. Al Jami’ al Kabir.
      2. Al Jami’ as Shagir.
      3. Al Mukhtashar.
      4. Al Mantsur.
      5. At Targib til trmu
      6. Kitabul Watsaiq.
      7. Al Masail al Mu’tabarah.
      8. Dan lain-lain.

      Al Humaidi (wafat 219H)


      Nama langkap beliau adalah Abdullah bin Zuber bin Isa Abu Bakar al Humaidi. Beliau adalah juga murid langsung dari Iman Syafi’i Rahimahullah.
      Beliaulah yang membawa dan mengembangkan Madzhab Syafi’i ketika di Mekkah, sehingga beliau diangkat menjadi Mufti Mekkah. Wafat di Mekkah pada tahun 219 H.
      Inilah di antaranya murid-murid langsung dari Imam Syafi’i Rahimahullah. yang kemudian menjadi Ulama Besar dan tetap teguh memegang Madzhab Syafi’i. Dengan perantaraan beliau-beliau inilah Madzhab Syafi’i tersiar luas ke pelosok-pelosok dunia Islam terutama ke bagian Timur dari Hijaz, yaitu ke lraq, ke Khurasan, ke Maawara an Nahr, ke Adzerbaijan, ke Tabristan, juga ke Sind, ke Afganistan, ke India, ke Yaman dan terus ke Hadaramaut, ke Pakistan, India dan Indonesia. Beliau-beliau ini menyiarkan Madzhab Syafi’i dengan lisan dan tulisan. Selain dari itu ada dua orang murid Imam Syafi’i Rahimahullah., yaitu Ahmad bin Hanbal, (wafat 241) yang kemudian ternyata membentuk madzhab sendiri yang kemudian dikenal dengan nama Madzhab Hanbali. Yang kedua Syeikh Muhammad bin Abdul Hakam, seorang Ulama murid langsung dari Iman Syafi’i Rahimahullah. yang ilmunya tidak kalah dari al Buwaithi. Beliau ini pada akhir umurnya berpindah ke Madzhab Maliki dan wafat dalam tahun 268 H. di Mesir.
      Nama lengkap beliau adalah Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya al Buwaithi, lahir di desa Buwaith (Mesir) wafat 231 H.
      Beliau ini adalah murid langsung dari Imam Syafi’i Rhl sederajat dengan Ar Rabi’i bin Sulaiman al Muradi. Imam Syafi’i Rahimahullah berkata: “Tidak seorang juga yang lebih berhak atas kedudukanku melebihi dari Yusuf bin Yahya al Buwaithi”, dan Imam Syafi’i Rahimahullah. berwasiat, manakala beliau wafat maka yang akan menggantikan kedudukan beliau sebagai pengajar adalah Al-Buwaithi ini.
      Beliau menggantikan Imam Syafi’i Rahimahullah berpuluh tahun dan pada akhir umur beliau ditangkap lantaran persoalan “fitnah Quran”, yaitu tentang makhluk atau tidaknya Quran yang digerakkan oleh kaum Mu’tazilah.
      Akhirnya al Buwaithi ditangkap oleh Khalifah yang pro faham Mu’tazilah, lalu dibawa dengan ikatan rantai pada tubuhnya ke Bagdad. Beliau meninggal dalam penjara di Bagdad tahun 231 H.
      Beliau syahid karena mempertahankan kepercayaan dan i’itiqad beliau, yaitu i’tiqad kaum ahlussunnah wal Jama’ah yang mempercayai bahwa Quran itu adalah kalam Allah yang Qadim, bukan “ciptaan Allah”, (makhluk).

      Biografi Imam Syafi`i (bag: 3)


      Metode Penyusunan kitab
      Methode Penulisan Kitab-Kitab Qadim . Berhubung dengan methode penulisan kitab “Al-Hujjah” dan lain-lain belum dapat di pastikan dengan yakin kerana naskah asalnya belum diketemukan , kemungkinan masih ada naskah asalnya atau kemungkinan juga sudah hilang atau rusak dimakan zaman. Walau bagaimana pun ini hanya satu kemungkinan saja. dari methode penulisan di zamannya sangat diwarnahi dengan perbedaan pendapat pada mazhab-mazhab fuqaha’ di dalam beberapa masalah, umpamanya perbedaan pendapat di antara mazhab beliau dengan Mazhab Hanafi dan juga Mazhab Maliki. Keadaan ini dapat kita lihat dalam penulisan kitab “Al-Um” yang pada asalnya adalah kumpulan dari beberapa buah kitab Mazhab Qadimnya. Setiap kitab itu masing-masing membawa tajuknya yang tersendiri, kemudian kitab itu dijadikan pada bab-bab kecil yang juga mempunyai tajuk-tajuk tersendiri. Didalam setiap bab ini dimuatkan dengan segala macam masalah fiqih yang tunduk kepada tajuk besar yaitu tajuk bagi sesuatu kitab, umpamanya kitab “Al-Taharah”, ia mengandungi tiga puluh tujuh tajuk bab kecil, kesemua kandungan bab-bab itu ada kaitannya dengan Kitab “Al-Taharah”. banyak di antara para sahabatnya di Iraq yang meriwayatkan fatwa-fatwa qadimnya, di antara yang termasyhur ada empat orang `Ulama yaitu :

      Abu Thaur, Ibrahim bin Khalid yang wafat pada tahun 240 H.

      Al-Za’farani, Al-Hasan bin Muhammad bin Sabah yang wafat pada tahun 260 H.
      Al-Karabisi, Al-Husain bin ‘Ali bin Yazid, Abu ‘Ali yang wafat pada tahun 245 H.

      Ahmad bin Hanbal yang wafat pada tahun 241 H.

      Menurut Al-Asnawi, Al-Syafi’i adalah ‘ulama’ pertama yang hasil penulisannya meliputi banyak bab di dalam Ilmu Fiqih. Perpindahan beliau ke Mesir pada tahun 199 H menyebabkan berlakunya satu rombakan besar terhadap fatwa lamanya. Perombakan ini adalah berpuncak dari penemuan beliau dengan dalil-dalil baru yang belum ditemuinya selama ini, atau kerana beliau mendapati hadis-hadis yang sahih yang tidak sampai ke pengetahuannya ketika beliau menulis kitab-kitab qadimnya, atau kerana hadis-hadis itu terbukti sahihnya sewaktu beliau berada di Mesir. Yang kesahihannya selama ini belum beliau ketahui. Kerana itu beliau telah menolak sebahagian besar fatwa lamanya dengan berdasarkan kepada prinsipnya :“Apabila ditemui sesebuah hadis yang sahih maka itulah Mazhab saya”.Di dalam kitab “Manaqib Al-Syafi’i”, Al-Baihaqi telah menyebut nama beberapa buah kitab lama (Mazhab Qadim) yang dikarang oleh Imam Al-Shafi’i dan diubah sebahagian fatwanya, di antara kitab-kitab itu ialah :-

      1. Al-Risalah 2. Kitab al-Siyam 3. Kitab al-Sadaq 4. Kitab al-Hudud 5. Kitab al-Rahn al-Saghir 6. Kitab al-Ijarah 7. Kitab al-Jana’iz
      Menurut Al-Baihaqi lagi Al-shafi’i telah menyuruh supaya dibakar kitab-kitab lamanya yang mana fatwa ijtihadnya telah diubah. Catatan Al-Baihaqi itu menunjukkan bahawa Al-Shafi’i Rahimahullah melarang para sahabatnya meriwayatkan pendapat-pendapat lamanya yang ditolak oleh orang banyak. Walaupun begitu kita masih menemui pendapat-pendapat qoul qodim beliau itu di dalam kitab-kitab fuqaha’ mazhabnya baik kitab-kitab yang ditulis oleh fuqaha’ yang terdahulu atau pun fuqaha’ yang terkemudian. Kemungkinan hal ini berlaku kerana kitab-kitab lamanya yang diriwayatkan oleh Al-Za’farani, Al-Karabisi dan lain-lain sudah tersebar dengan luasnya di Iraq dan diketahui umum, terutama di kalangan ulama yang menerima pendapat-pendapatnya yang belum mengetahui akan larangan beliau .Para fuqaha’ itu bukan saja mencatat pendapat-pendapat lamanya di dalam penulisan mereka, malah menurut Al-Nawawi ada di antara mereka yang berani mentarjihkan pendapat-pendapat itu apabila mereka mendapatinya didukung oleh hadis-hadis yang sahih.Pentarjihan mereka ini tidak pula dianggap menyalahi kehendak Al-Shafi’i,Rahimahullah malahan itulah pendapat mazhabnya yang berdasarkan kepada prinsipnya : “Apabila ditemui sesebuah hadis yang sahih itulah mazhab saya”.Tetapi apabila sesuatu pendapat lamanya itu tidak didukung oleh hadis yang sahih kita akan menemui dua sikap di kalangan fuqaha’ Mazhab Al-Syafi’i :
      Pertama :
      Pendapat itu harus dipilih dan digunakan oleh seseorang mujtahid MazhabAl-Syafi’i atas dasar ia adalah pendapat Al-Syafi’i Rahimahullah yang tidak dimansuhkan olehnya, kerana seseorang mujtahid (seperti Al-Syafi’i Rahimahullah) apabila ia mengeluarkan pendapat barunya yang berbeda dengan pendapat lamanya tidaklah bererti bahwa ia telah menarik pendapat pertamanya, bahkan di dalam masalah itu dianggap mempunyai dua pendapatnya.
      Kedua :
      Tidak harus ia memilih pendapat lama itu. Inilah pendapat jumhur fuqaha’Mazhab Al-Syafi’i kerana pendapat lama dan baru adalah dua yang berselisihan yang mustahil dapat diselaraskan kedua-duanya.


      Imam Syafi’i r.a. (150H – 204H ) Kitab-kitab Mazhab Jadid

      Di antara kitab-kitab beliau yang penulisannya di Mesir diantaranya ialah :
      i. Al-Risalah. Kitab ini telah ditulis buat pertama kalinya sebelum beliau berpindah ke Mesir.
      ii. Beberapa buah kitab di dalam hukum-hukum furu’ yang terkandung di dalam kitab “Al-Um”, seperti :-
      a) Di dalam bab Taharah :
      1. Kitab al-Wudu’ 2. Kitab al-Tayammum 3. Kitab al-Taharah 4. Kitab Masalah al-Mani 5. Kitab al-Haid

      B) Di dalam bab Solah :
      6. Kitab Istiqbal al-Qiblah 7. Kitab al-Imamah 8. Kitab al-Jum’ah 9. Kitab Solat al-Khauf 10. Kitab Solat al-‘Aidain 11. Kitab al-Khusuf 12. Kitab al-Istisqa’ 13. Kitab Solat al-Tatawu’ 14. Al-Hukm fi Tarik al-Solah 15. Kitab al-Jana’iz 16. Kitab Ghasl al-Mayyit

      c) Di dalam bab Zakat :
      17. Kitab al-Zakah 18. Kitab Zakat Mal al-Yatim 19. Kitab Zakat al-Fitr 20. Kitab Fard al-Zakah 21. Kitab Qasm al-Sadaqat

      d) Di dalam bab Siyam (Puasa) :
      22. Kitab al-Siyam al-Kabir 23. Kitab Saum al-Tatawu’ 24. Kitab al-I’tikaf

      e) Di dalam bab Haji :
      25. Kitab al-Manasik al-Kabir 26. Mukhtasar al-Haj al-Kabir 27. Mukhtasar al-Haj al-Saghir

      f) Di dalam bab Mu’amalat :
      28. Kitab al-Buyu’ 29. Kitab al-Sarf 30. Kitab al-Salam 31. Kitab al-Rahn al-Kabir 32. Kitab al-Rahn al-Saghir 33. Kitab al-Taflis 34. Kitab al-Hajr wa Bulugh al-Saghir 35. Kitab al-Sulh 36. Kitab al-Istihqaq 37. Kitab al-Himalah wa al-Kafalah 38. Kitab al-Himalah wa al-Wakalah wa al-Sharikah 39. Kitab al-Iqrar wa al-Mawahib 40. Kitab al-Iqrar bi al-Hukm al-Zahir 41. Kitab al-Iqrar al-Akh bi Akhihi 42. Kitab al-‘Ariah 43. Kitab al-Ghasb 44. Kitab al-Shaf’ah

      g) Di dalam bab Ijarat (Sewa-menyewa) :
      45. Kitab al-Ijarah 46. Kitab al-Ausat fi al-Ijarah 47. Kitab al-Kara’ wa al-Ijarat 48. Ikhtilaf al-Ajir wa al-Musta’jir 49. Kitab Kara’ al-Ard 50. Kara’ al-Dawab 51. Kitab al-Muzara’ah 52. Kitab al-Musaqah 53. Kitab al-Qirad 54. Kitab ‘Imarat al-Aradin wa Ihya’ al-Mawat

      h) Di dalam bab ‘Ataya (Hadiah-menghadiah) :

      55. Kitab al-Mawahib 56. Kitab al-Ahbas 57. Kitab al-‘Umra wa al-Ruqba

      i) Di dalam bab Wasaya (Wasiat) :
      58. Kitab al-Wasiat li al-Warith 59. Kitab al-Wasaya fi al-‘Itq 60. Kitab Taghyir al-Wasiah 61. Kitab Sadaqat al-Hay’an al-Mayyit 62. Kitab Wasiyat al-Hamil

      j) Di dalam bab Faraid dan lain-lain :
      63. Kitab al-Mawarith 64. Kitab al-Wadi’ah 65. Kitab al-Luqatah 66. Kitab al-Laqit

      k) Di dalam bab Nikah :
      67. Kitab al-Ta’rid bi al-Khitbah 68. Kitab Tahrim al-Jam’i 69. Kitab al-Shighar 70. Kitab al-Sadaq 71. Kitab al-Walimah 72. Kitab al-Qism 73. Kitab Ibahat al-Talaq 74. Kitab al-Raj’ah 75. Kitab al-Khulu’ wa al-Nushuz 76. Kitab al-Ila’ 77. Kitab al-Zihar 78. Kitab al-Li’an 79. Kitab al-‘Adad 80. Kitab al-Istibra’ 81. Kitab al-Rada’ 82. Kitab al-Nafaqat

      l) Di dalam bab Jirah (Jenayah) :
      83. Kitab Jirah al-‘Amd 84. Kitab Jirah al-Khata’ wa al-Diyat 85. Kitab Istidam al-Safinatain 86. Al-Jinayat ‘ala al-Janin 87. Al-Jinayat ‘ala al-Walad 88. Khata’ al-Tabib 89. Jinayat al-Mu’allim 90. Jinayat al-Baitar wa al-Hujjam 91. Kitab al-Qasamah 92. Saul al-Fuhl

      m) Di dalam bab Hudud :
      93. Kitab al-Hudud 94. Kitab al-Qat’u fi al-Sariqah 95. Qutta’ al-Tariq 96. Sifat al-Nafy 97. Kitab al-Murtad al-Kabir 98. Kitab al-Murtad al-Saghir 99. Al-Hukm fi al-Sahir 100. Kitab Qital ahl al-Baghy

      n) Di dalam bab Siar dan Jihad :
      101. Kitab al-Jizyah 102. Kitab al-Rad ‘ala Siyar al-Auza’i 103. Kitab al-Rad ‘ala Siyar al-Waqidi 104. Kitab Qital al-Mushrikin 105. Kitab al-Asara wa al-Ghulul 106. Kitab al-Sabq wa al-Ramy 107. Kitab Qasm al-Fai’ wa al-Ghanimah

      o) Di dalam bab At’imah (Makan-makanan) :
      108. Kitab al-Ta’am wa al-Sharab 109. Kitab al-Dahaya al-Kabir 110. Kitab al-Dahaya al-Saghir 111. Kitab al-Said wa al-Dhabaih 112. Kitab Dhabaih Bani Israil 113. Kitab al-Ashribah

      p) Di dalam bab Qadaya (Kehakiman) :
      114. Kitab Adab al-Qadi 115. Kitab al-Shahadat 116. Kitab al-Qada’ bi al-Yamin ma’a al-Shahid 117. Kitab al-Da’wa wa al-Bayyinat 118. Kitab al-Aqdiah 119. Kitab al-Aiman wa al-Nudhur

      q) Di dalam bab ‘Itq (Pembebasan) dan lain-lain :
      120. Kitab al-‘Itq 121. Kitab al-Qur’ah 122. Kitab al-Bahirah wa al-Sa’ibah 123. Kitab al-Wala’ wa al-Half 124. Kitab al-Wala’ al-Saghir 125. Kitab al-Mudabbir 126. Kitab al-Mukatab 127. Kitab ‘Itq Ummahat al-Aulad 128. Kitab al-Shurut

      Di samping kitab-kitab di atas ada lagi kitab-kitab lain yang dikatagorikan oleh al-Baihaqi sebagai kitab-kitab usul, tetapi ia juga mengandungi hukum-hukum furu’, seperti :-

      1. Kitab Ikhtilaf al-Ahadith 2. Kitab Jima’ al-Ilm 3. Kitab Ibtal al-Istihsan 4. Kitan Ahkam al-Qur’an 5. Kitab Bayan Fard al-Lah, ‘Azza wa Jalla 6. Kitab Sifat al-Amr wa al-Nahy 7. Kitab Ikhtilaf Malik wa al-Shafi’i 8. Kitab Ikhtilaf al-‘Iraqiyin 9. Kitab al-Rad ‘ala Muhammad bin al-Hasan 10. Kitab ‘Ali wa ‘Abdullah 11. Kitab Fada’il Quraysh.


      Ada sebuah lagi kitab al-Shafi’i yang dihasilkan dalam Ilmu Fiqah yaitu “al-Mabsut”. Kitab ini diperkenalkan oleh al-Baihaqi dan beliau menamakannya dengan “al-Mukhtasar al-Kabir wa al-Manthurat”, tetapi pada pendapat setengah ulama kemungkinan ia adalah kitab “al-Um”.


      ( bersambung ke Bag 4 )

      Biografi Imam Syafi`i ( bag 2)



      Imam Syafi’i r.a. (150H – 204H )
      FATWA-FATWA IMAM AL-SHAFI’I
      Perpindahan beliau ke Mesir mengakibatkan satu perubahan besar dalam Mazhabnya. Kesan perubahan ini melibatkan banyak fatwanya semasa beliau di Baghdad turut sama berubah. Banyak kandungan kitab-kitab fiqihnya yang beliau hasilkan di Baghdad  direvisi kembali.Dengan ini terdapat dua fatwa bagi As-Shafi’i, fatwa lama dan fatwa barunya. Fatwa lama ialah segala fatwa yang diucapkan atau ditulis semasa beliau berada di Iraq, fatwa barunya ialah fatwa yang diucapkan atau ditulis ketika semasa beliau berada di Mesir. Kadang-kadang dipanggil fatwa lamanya dengan Mazhabnya yang lama atau Qaul Qadim dan fatwa barunya dinamakan dengan Mazhab barun atau Qaul Jadid.
      Di sini harus kita fahami bahawa tidak semua fatwa barunya menyalahi fatwa lamanya dan tidak pula kesemua fatwa lamanya dibatalkannya, malahan ada di antara fatwa barunya yang menyalahi fatwa lamanya dan ada juga yang sama dengan yang lama. Kata Imam Al-Nawawi : “Sebenarnya sebab dikatakan kesemua fatwa lamanya itu ditarik kembali dan tidak diamalkannya hanyalah berdasarkan pada umumnya saja”.

      PARA SAHABAT IMAM AL-SHAFI’I

      Di antara para sahabat Imam Al-Shafi’i Rohimahulloh yang terkenal di Al-Hijaz (Makkah dan Al-Madinah) ialah :-
      · Abu Bakar Al-Hamidi, ‘Abdullah bun Al-Zubair Al-Makki yang wafat pada tahun 219H.
      · Abu Wahid Musa bin ‘Ali Al-Jarud Al-Makki yang banyak menyalin kitab-kitab Al-Shafi’i.Tidak diketahui tarikh wafatnya.
      · Abu Ishak Ibrahim bin Muhammad bin Al-‘Abbasi bin ‘Uthman bin Shafi ‘Al-Muttalibi yang wafat pada tahun 237H.
      · Abu Bakar Muhammad bin Idris yang tidak diketahui tarikh wafatnya.
      Sementara di Iraq pula kita menemui banyak para sahabat Imam Al-Shafi’i yang terkenal, di antara mereka ialah :-
      · Abu ‘Abdullah Ahmad bin Hanbal, Imam Mazhab yang keempat. Beliau wafat pada tahun 241
      · Abu ‘Ali Al-Hasan bin Muhammad Al-Za’farani yang wafat pada tahun 249H.
      Abu Thaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi yang wafat pada tahun 240H.
      · Al-Harith bin Suraij Al-Naqqal, Abu ‘Umar. Beliau wafat pada tahun 236H
      · .Abu ‘Ali Al-Husain bin ‘Ali Al-Karabisi yang wafat pada tahun 245H.
      · Abu ‘Abdul RahmanAhmad bin Yahya Al-Mutakallim. Tidak diketahui tarikh wafatnya.
      · Abu Zaid ‘Abdul Hamid bin Al-Walid Al-Misri yang wafat pada tahun 211H.
      Al-Husain Al-Qallas. Tidak diketahui tarikh wafatnya.
      · ‘Abdul ‘Aziz bin Yahya Al-Kannani yang wafat pada tahun 240H.
      · ‘Ali bin ‘Abdullah Al-Mudaiyini.
      Di Mesir pula terdapat sebilangan tokoh ulama yang kesemua mereka adalah sahabat Imam Al-Shafi’i,seperti :-
      · Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin ‘Amru bin Ishak Al-Mudhani yang wafat pada tahun 264H.
      · Abu Muhammad Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi yang wafat pada tahun .
      · Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya Al-Misri Al-Buwaiti yang wafat pada tahun 232H.
      · Abu Najib Harmalah bin Yahya Al-Tajibi yang wafat pada tahun 243H.
      · Abu Musa Yunus bin ‘Abdul A’la Al-Sadaghi yang wafat pada tahun 264H.
      · Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam Al-Misri yang wafat pada tahun268H.
      · Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Jizi yang wafat pada tahun 256H.
      Dari usaha gigih mereka, Mazhab Al-Shafi’i tersebar dan berkembang luas di seluruh rantau Islam dizaman-zaman berikutnya.

      PERKEMBANGAN MAZHAB IMAM AL-SHAFI’I
      Menurut Ibn Al-Subki bahawa Mazhab Al-Shafi’I telah berkembang dan menjalar pengaruhnya dibanyak wilayah, di kota dan di desa, di seluruh rantau negara Islam. Pengikut-pengikutnya terdapat di Iraq dan kawasan-kawasan sekitarnya, di Naisabur, Khurasan, Muru, Syria, Mesir, Yaman,Hijaz, Iran dan di negara-negara timur lainnya hingga ke India dan sempadan negara China.Penyebaran yang sebegini meluas setidak-tidaknya membayangkan kepada kita sejauh mana kewibawaan peribadi Imam Al-Shafi’i Rohimahulloh sebagai seorang tokoh ulama dan keunggulan Mazhabnya sebagai satu-satunya aliran fiqih yang menyebar ke seantero wilayah dari zaman sampai saat kini.

      Imam Syafi’i r.a. (150H – 204H )

      IMAM AL-SHAFI’I  DAN  KITABNYA

      Permulaan Mazhabnya
      Sebenarnya penulisan Imam Al-Shafi’i secara umumnya mempunyai pertalian yang rapat dengan pembentukan Mazhabnya. Menurut Muhammad Abu Zahrah bahawa pembentukan Mazhabnya hanya bermula sejak sekembalinya dari kunjungan ke Baghdad pada tahun 186 H. Sebelum itu Al-Shafi’i Rohimahulloh .adalah salah seorang pengikut Imam Malik Rohimahulloh yang sering mempertahankan pendapatnya dan juga pendapat fuqaha’ Al-Madinah lainnya dari kecaman dan kritikan fuqaha’ Ahl Al-Ra’y. Sikapnya yang sebegini meyebabkan beliau  terkanal dengan panggilan “Nasir Al-Hadith”.
      Detik terawal Mazhabnya bermula apabila beliau membuka tempat pengajarannya (halaqoh) di MasjidAl-Haram. Usaha beliau dalam memperkembangkan Mazhabnya itu boleh di bagi kepada tiga faset :
      · Fase 1. di Makkah (186 – 195H)
      · Fase 2. di Baghdad (195 – 197H)
      · Fase 3. di Mesir (199 – 204H)
      Dalam setiap fase diatas beliau mempunyai banyak murid dan para pengikut yang telah menerima dan menyebarkan segala pendapat ijtihad dan juga hasil kajiannya.

      Penulisan Pertamanya

      Memang agak sulit untuk menentukan apakah kitab pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i Rohimahulloh dan dimana dan selanjutnya apakah kitab pertama yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqih dan di mana?Kesulitan ini adalah berpuncak dari tidak adanya keterangan yang jelas mengenai kedua-dua perkara tersebut. Pengembaraannya dari satu tempat ke satu tempat yang lain. dan pulangnya semula ke tempat asal tambah menyulitkan lagi untuk  menentukan di tempat mana beliau memulai usaha penulisannya.
      Sesudah mengamati beberapa buah kitab lama dan baru yang menyentuh sejarah hidupnya, hanya beberapa tanda yang menunjukkan bahwa kitab “Al-Risalah” adalah ditulis atas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, yaitu sebuah kitab di dalam Ilmu Usul, keterangan inipun tidak  menyebutkan apakah kitab ini merupakan hasil penulisannya yang pertama atau sebelumnya sudah ada kitab lain yang dihasilkannya. Di samping adanya persilisihan pendapat di kalangan ‘ulama berhubung dengan tempat di mana beliau menghasilkan penulisan kitabnya itu. Ada pendapat yang mengatakan bahawa beliau menulisnya sewaktu beliau berada di Makkah dan ada juga pendapat yang mengatakan bahawa beliau menulisnya ketika berada di Iraq.
      Kata Ahmad Muhammad Shakir : “Al-Shafi’I telah mengarang beberapa buah kitab yang jumlahnya agak banyak, sebagian beliau sendiri yang menulisnya, lalu dibacakannya kepada orang banyak .Sebagian  beliau yang merencanakannya saja kepada para sahabatnya. Untuk mengira jumlah kitab-kitabnya itu memanglah sukar kerana sebagian besar  telah hilang. Kitab-kitab itu telah dihasilkan penulisannya ketika beliau berada di Makkah, di Baghdad dan di Mesir”.
      Kalaulah keterangan di atas boleh di-pertanggungjawab-kan maka dapatlah kita membuat satu kesimpulan bahawa Al-Shafi’i Rohimahulloh  telah memulai penulisannya sewaktu beliau di Makkah , dan kemungkinan kitabnya yang pertama yang dihasilkannya ialah kitab “Al-Risalah”. Al-Hujjah Dan Kitab-kitab Mazhab Qadim
      Di samping “Al-Risalah” terdapat sebuah kitab lagi yang sering disebut-sebut oleh para ulama sebagai sebuah kitab yang mengandung fatwa Mazhab Qadim yaitu “Al-Hujjah”.  keterangan mengenai kitab inipun  tidak menunjukkan bahawa itu adalah kitab pertama yang di tulis di dala bidang Ilmu Fiqih semasa beliau berada di Iraq, dan masa penulisannya pun tidak begitu jelas. Menurut beberapa keterangan, beliau menuliskan itu pada waktu beliau berpindah ke negara itu pada kali keduanya, yiaitu di antara tahun-tahun 195 – 197H.
      Bersama-sama “Al-Hujjah” itu terdapat beberapa buah kitab lain di dalam Ilmu Fiqih yang beliau hasilkan sendiri penulisannya atau beliau merencanakannya kepada para sahabatnya di Iraq,diantaranya seperti kitab-kitab berikut :

      Al-Mahali
      Kitab Al-Hajj
      Kitab Zihar

      Majma’ Al-Kafi
      Kitab Al-I’tiaf
      Kitab Lian

      Uyun Al- Masail
      Kitab Buyu’
      Kitab Hudud

      Kitab Al-Sunan
      Kitab Al-Rahn
      Kitabqodhya

      Kitab Thaharah
      Kitab Al-Ijarah
      Kitab Illa

      Kitab Asalah
      Kitab Nikah
      Kitab Al-‘Itqu

      Kitab Al-Zakah
      Kitab Thalaq
      Kitab Hibah

      Al-Shiam
      Kitab Shadaqoh
      Dan Lain-Lain

           Setengah riwayat pula  menyebutkan bahwa kitab pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i Rohimahulloh adalah didalam bentuk Tanya jawab, yaitu satu penulisan yang ditujukan pada fuqaha’ ahlil-Ra’y sebagai menjawab kecaman-kecaman mereka terhadap Imam Malik Rohimahulloh dan fuqaha’AlMadinah
      .Kenyataan mereka ini berdasarkan kepada riwayat Al-Buwaiti : “Kata Al-Shafi’i Rohimahulloh : Ashab Al-Hadith (pengikut Imam MalikRohimahulloh ) telah berhimpun bersama-sama saya. Mereka telah meminta saya menulis satu jawaban terhadap kitab Abu Hanifah. Saya menjawab bahawa saya belum lagi mengetahui pendapat mereka, berilah peluang supaya dapat saya melihat kitab-kitab mereka. Lantas saya meminta supaya disalinkan kitab-kitab itu.Lalu disalin kitab-kitab Muhammad bin Al-Hasan untuk saya baca. Saya membacanya selama setahun sehingga saya dapat menghafalkan kesemuanya. Kemudian barulah saya menulis kitab saya di Baghdad. Kalaulah berdasarkan kepada keterangan di atas, maka kitab pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i semasa beliau di Iraq ialah sebuah kitab dalam bentuk jawaban dan perdebatan, dan cara penulisannya adalah sama dengan cara penulisan ahl al-Ra’y. Ini juga menunjukkan bahawa masa penulisannya itu lebih awal dari masa penulisan kitab “Al-Risalah”, yaitu di antara tahun-tahun 184 – 186 H. Berlanjut (Bag 3)

      Biografi Imam Syafi`i (bag:1)




      Imam Syafi’i r.a. (150H –204H ) I
      Nama beliau ialah Muhammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin ‘Uthman bin Shafi’ bin Al-Saibbin ‘Ubaid bin Yazid bin Hashim bin ‘Abdal-Muttalib bin ’Abd Manaf bin Ma’n bin Kilab bin Lu’i bin Ghalib bin Fahr binMalik bin Al-Nadr bin Kinanah bin Khuzaimahbin Mudrakah bin Ilias bin Al-Nadr bin Nizarbin Ma’d bin ‘Adnan bin Ud bin Udad.Keturunan beliau bertemu dengan titisanketurunan Rasulullah s.a.w pada ‘Abd Manaf.Ibunya berasal dari Kabilah Al-Azd, satu kabilah Yaman yang masyhur.Penghijrahan ke Palestina Sebelum beliau dilahirkan, keluarganya telah berpindah ke Palestina kerana beberapa keperluan dan bapanya terlibat di dalam angkatan tentera yang ditugaskan untuk mengawal perbatasan Islam di sana. Kelahiran dan Kehidupannya Menurut pendapat yang masyhur, beliau dilahirkan di Ghazzah – Palestina pada tahun 150Hijrah. Tidak lama sesudah beliau dilahirkan bapak- nya meninggal dunia. Tinggallah beliau bersama-sama ibunya sebagai seorang anak yatim. Kehidupan masa kecilnya dilalui dengan serba kekurangan dan kesulitan.
      PENGEMBARAAN IMAM AL-SyAFI’I

      Hidup Imam As-Syafi’i (150H – 204H ) merupakan satu sisi pengembaraan yang tersusun di dalam bentuk yang sungguh menarik dan amat berkesan terhadap pembentukan criteria ilmiah dan popularitasnya. Al-Shafi’i di Makkah ( 152H – 164H )
      Pengembaraan beliau bermula sejak beliau berumur dua tahun lagi (152H), ketika itu beliaudibawa oleh ibunya berpindah dari tempat kelahirannya iaitu dari Ghazzah, Palestina keKota Makkah untuk hidup bersama kaum keluarganya di sana.Di kota Makkah kehidupan beliau tidak tetap kerana beliau dihantar ke perkampungan BaniHuzail, menurut tradisi bangsa Arab ketika itu bahawa penghantaran anak-anak muda mereka ke perkampungan tersebut dapat mewarisi kemahiran bahasa ibunda mereka Dari sumber asalnya yang belum lagi terpengaruh dengan integrasi bahasa-bahasa asing seperti bahasa Parsi dan sebagainya. Satu perkara lagi adalah supaya pemuda mereka dapat dibekalkan dengan Al-Furusiyyah Latihan Perang Berkuda). Kehidupan beliau diperingkat ini mengambil masa dua belas tahun ( 152 – 164H ).Sebagai hasil dari usahanya, beliau telah mahir dalam ilmu bahasa dan sejarah di Sampingi lmu-ilmu yang berhubung dengan Al-Quran dan Al-Hadith. Selepas pulang dariperkampungan itu beliau meneruskan usaha pembelajarannya dengan beberapa mahaguru di Kota sehingga beliau menjadi terkenal. Dengan kecerdikan dan kemampuan ilmiahnya beliau telah dapat menarik perhatian seorang mahagurunya yaitu Muslim binKhalid Al-Zinji yang mengizinkannya untuk berfatwa sedangkan umur beliau masih lagi diperingkat remaja iaitu lima belas tahun.
      Al-Shafi’i di Madinah ( 164H – 179H )
      Sesudah itu beliau berpindah ke Madinah dan menemui Imam Malik. Beliau berdampingdengan Imam Malik di samping mempelajari ilmunya sehinggalah Imam Malik wafat pada tahun 179H, yaitu selama lima belas tahun.Semasa beliau bersama Imam Malik hubungan beliau dengan ulama-ulama lain yang menetap di kota itu dan juga yang datang dari luar berjalan dengan baik dan berfaedah. Dari sini dapatlah difahami bahawa beliau semasa di Madinah telah dapat mewarisi ilmu bukan saja dari Imam Malik tetapi juga dari ulama-ulama lain yang terkenal dikota itu.
      Al-Shafi’i di Yaman ( 179H – 184H )
      Ketika Imam Malik wafat pada tahun 179H, kota Madinah diziarahi oleh Gubenur Yaman.Beliau telah dicadangkan oleh sebahagian orang-orang Qurasyh Al-Madinah supayamencari pekerjaan bagi Al-Shafi’i. Lalu beliau melantiknya menjalankan satu pekerjaan diwilayah Najran. Sejak itu Al-Shafi’i terus menetap di Yaman sehingga berlaku pertukaran Gubenur wilayah itu pada 184H. Pada tahun itu satu fitnah ditimbulkan terhadap diriAl-Shafi’i sehingga beliau dihadapkan ke hadapan Harun Al-Rashid di Baghdad atas tuduhan Gubenur baru itu yang sering menerima kecaman Al-Shafi’i kerana kekejaman . Tetapi ternyata bahwa beliau tidak bersalah dan kemudiannya beliau dibebaskan.
      Al-Shafi’i di Baghdad ( 184H – 186H )
      Peristiwa itu walaupun secara kebetulan, tetapi membawa arti yang amat besar kepadaAl-Shafi’i kerana pertamanya, ia berpeluang menziarahi kota Baghdad yang terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan para ilmuan pada ketika itu. Keduanya, ia berpeluang bertemu dengan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, seorang tokoh Mazhab Hanafi dan sahabat karib Imam Abu Hanifah dan lain-lain tokoh di dalam Mazhab Ahl al-Ra’y. Dengan peristiwa itu terbukalah satu era baru dalam siri pengembaraan Al-Imam ke kota Baghdad yang dikatakan berlaku sebanyak tiga kali sebelum beliau berpindah ke Mesir.Dalam pengembaraan pertama ini Al-Shafi’i tinggal di kota Baghdad sehingga tahun 186H. Selama masa ini(184 – 186H) beliau sempat membaca kitab kitab Mazhab Ahl al-Ra’y dan mempelajarinya, terutamanya hasil tulisan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, disamping membincanginya di dalam beberapa perdebatan ilmiah di hadapan Harun Al-Rashid sendiri.
      Al-Shafi’i di Makkah ( 186H – 195H )
      Pada tahun 186H, Al-Shafi’i pulang ke Makkah membawa bersamanya hasil usahanya diYaman dan Iraq dan beliau terus melibatkan dirinya di bidang pengajaran. Dari sini muncullah satu bintang baru yang berkerdipan di ruang langit Makkah membawa satun afas baru di bidang fiqah, satu nafas yang bukan Hijazi, dan bukan pula Iraqi danYamani, tetapi ia adalah gabungan dari ke semua aliran itu. Sejak itu menurut pendapatsetengah ulama, lahirlah satu Mazhab Fiqhi yang baru yang kemudiannya dikenali denganMazhab Al-Shafi’i.Selama sembilan tahun (186 – 195H) Al-Shafi’i menghabiskan masanya di kota suci Makkah bersama-sama para ilmuan lainnya, membahas, mengajar, mengkaji di samping berusaha untuk melahirkan satu intisari dari beberapa aliran dan juga persoalan yang sering bertentangan yang beliau temui selama masa itu.
      Al-Shafi’i di Baghdad ( 195H – 197H
      Dalam tahun 195H, untuk kali keduanya Al-Shafi’i berangkat ke kota Baghdad. Keberangkatannya kali ini tidak lagi sebagai seorang yang tertuduh, sebagai seorang alim Makkah yang sudah mempunyai personalitas dan aliran fiqah yang tersendiri.Catatan perpindahan kali ini menunjukkan bahawa beliau telah menetap di negara itu selama dua tahun (195 – 197H).
      Di dalam masa yang singkat ini beliau berjaya menyebarkan “Method Usuli” yang berbeda dari apa yang dikenali pada ketika itu. Penyebaran ini sudah tentu menimbulkan satu respon dan reaksi yang luarbiasa di kalangan para ilmuan yang kebanyakannya adalah terpengaruh dengan method Mazhab Hanafi yang disebarkan oleh tokoh utama Mazhab itu, yaitu Muhammad bin Al-Hasan Al-Shaibani.Kata Al-Karabisi : “Kami sebelum ini tidak kenal apakah (istilah) Al-Kitab, Al- Sunnah dan Al-Ijma’, sehinggalah datangnya Al-Shafi’i, beliaulah yang menerangkan maksud Al-Kitab, Al-Sunnah dan Al-Ijma’”. Kata Abu Thaur : “Kata Al-Shafi’i : Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyebut di dalam kitab-Nya) mengenai sesuatu maksud yang umum tetapi Ia menghendaki maksudnya yang khas, dan Ia juga telah menyebut sesuatu maksud yang khas tetapi Ia menghendaki maksudnya yang umum, dan kami (pada ketika itu) belum lagi mengetahui perkara-perkara itu, lalu kami tanyakan beliau …”Pada masa itu juga dikatakan beliau telah menulis kitab usulnya yang pertama atas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, dan juga beberapa penulisan lain dalam bidang fiqih dan lain-lain.
      Al-Shafi’i di Makkah dan Mesir ( 197H – 204H )
      Sesudah dua tahun berada di Baghdad (197H) beliau kembali ke Makkah. Pada tahun198H, beliau keluar semula ke Baghdad dan tinggal di sana hanya beberapa bulan sahaja.Pada awal tahun 199H, beliau berangkat ke Mesir dan sampai ke negara itu dalam tahunitu juga. Di negara baru ini beliau menetap sehingga ke akhir hayatnya pada tahun 204H.Imam As-Shafi’i wafat pada tahun 204H. Asas Fiqih dan Ushul Fiqih kemudian disebar dandiusaha-kembangkan oleh para sahabatnya yang berada di Al-Hijaz, Iraq dan Mesir.Berlanjut ke bagian 2

      Subscribe To RSS

      Sign up to receive latest news