• Senin, 31 Maret 2014

      Fakta peradaban Islam

      Sebenarnya sangatlah sulit untuk mencari bidang ilmu pengetahuan yang tidak berhutang budi kepada para Ilmuwan Islam. Karena sejak seribu tahun yang lalu, ketika umat muslim adalah pembawa obor pengetahuan pada zaman kegelapan. Mereka menciptakan peradaban Islam, didorong oleh penelitian dan penemuan ilmiah, yang membuat bagian dunia lainnya iri selama berabad-abad.

      Dalam kata-kata Carli Fiorina, seorang CEO Hewlett Packard yang visioner dan berbakat tinggi, ia berkata “Adalah para arsitek yang mendesign bangunan-bangunan yang mampu melawan gravitasi. Adalah para matematikawan yang menciptakan al-jabar dan al-goritma yang dengannya komputer dan enkripsi data dapat tercipta. Adalah para dokter yang memeriksa tubuh manusia, dan menemukan obat baru untuk penyakit. Adalah para astronom yang melihat ke langit, memberi nama bintang-bintang, dan membuka jalan bagi perjalanan dan eksplorasi antariksa. Adalah para sastrawan yang menciptakan ribuan kisah; kisah-kisah perjuangan, percintaan dan keajaiban. Ketika negeri lain takut akan gagasan-gagasan, peradaban ini berkembang pesat dengannya dan membuat mereka penuh energi. Ketika ilmu pengetahuan terancam dihapus akibat penyensoran oleh peradaban sebelumnya, peradaban ini menjaga ilmu pengetahuan tetap hidup, dan menyebarkannya kepada peradaban lain. Tatkala peradaban Barat modern sedang berbagi pengetahuan ini, peradaban yang sedang saya bicarakan ini adalah dunia Islam bermula pada tahun 800 hingga 1600 M, yang termasuk di dalamnya Dinasti Ottoman dan kota Baghdad, Damaskus dan Kairo, dan penguasa agung seperti Sulaiman yang bijak. Walaupun kita sering kali tidak menyadari hutang budi kita kepada peradaban ini, sumbangsihnya merupakan bagian dasar dari kebudayaan kita. Teknologi industri tidak akan pernah hadir tanpa kontribusi para matematikawan Arab (Islam)”

      Di bawah ini adalah daftar singkat – tanpa bermaksud menyatakannya sebagai yang terlengkap – para ilmuwan dan cendikiawan muslim dari abad 8 hingga abad ke 15 Masehi.

      1. 701 (Meninggal) – Khalid Ibn Yazeed = Ilmuwan kimia
      2. 740 – Al-Asma’i = Ahli ilmu hewan, ahli tumbuh-tumbuhan, ahli pertanian
      3. 776-868 – Amr Ibn Bahr al-Jahiz = Ahli ilmu hewan
      4. 780 – Al-Khwarizmi (Algorizm) = Matematika (Aljabar, Kalkulus), Astronomi
      5. 721-803 – Jabir Ibn Haiyan = Ilmuwan kimia (Seorang ilmuwan kimia muslim populer)
      6. 780 – Al-Khwarizmi (Algorizm) = Matematika (Aljabar, Kalkulus), Astronomi
      7. 796 (Meninggal) – Al-Fazari, Ibrahim Ibn Habib = Astronomi
      8. 789 (lahir) – Abul-Hasan Ali ibn Nafi (Ziryab) = Musik, Design, Fashion, Sastra, Arsitek
      9. 800 – Ibn Ishaq Al-Kindi (Alkindus) = Kedokteran, Filsafat, Fisika, Optik
      10. 815 – Al-Dinawari, Abu Hanifa Ahmed Ibn Dawud = Matematika, Sastra
      11. 816 – Al Balkhi = Ilmu Bumi (Geography)
      12. 836 – Thabit Ibn Qurrah (Thebit) = Astronomi, Mekanik, Geometri, Anatomi
      13. 838-870 – Ali Ibn Rabban Al-Tabari = Kedokteran, Matematika
      14. 838-870 – Ali Ibn Rabban Al-Tabari = Kedokteran, Matematika
      15. 852 – Al Battani Abu Abdillah = Matematika, Astronomi, Insinyur
      16. 857 – Ibn Masawaih You’hanna = Kedokteran
      17. 858-929 – Abu Abdullah Al Battani (Albategnius) = Astronomi, Matematika
      18. 860 – Al-Farghani, Abu al-Abbas (Al-Fraganus) = Astronomy, Tehnik Sipil
      19. 864-930 – Al-Razi (Rhazes) = Kedokteran, Ilmu Kedokteran Mata, Ilmu Kimia
      20. 973 (Meninggal) – Al-Kindi = Fisika, Optik, Ilmu Logam, Ilmu Kelautan, Filsafat
      21. 888 (Meninggal) – Abbas Ibn Firnas = Mekanika, Ilmu Planet, Kristal Semu
      22. 903-986 – Al-Sufi (Azophi) = Astronomi
      23. 908 – Thabit Ibn Qurrah = Kedokteran, Insinyur
      24. 923 (Meninggal) – Al-Nirizi, AlFadl Ibn Ahmed (Altibrizi) = Matematika, Astronomi
      25. 912 (Meninggal) – Al-Tamimi Muhammad Ibn Amyal (Attmimi) = Ilmu Kimia
      26. 930 – Ibn Miskawayh, Ahmed Abu Ali = Kedokteran, Ilmu Kimia
      27. 932 – Ahmed Al-Tabari = Kedokteran
      28. 934 – Al-Istakhr II = Ilmu Bumi (Peta Bumi)
      29. 936-1013 – Abu Al-Qosim Al-Zahravi (Albucasis) = Ilmu Bedah, Kedokteran
      30. 940-997 – Abu Wafa Muhammad Al-Buzjani = Matematika, Astronomi, Geometri
      31. 943 – Ibn Hawqal = Ilmu Bumi (Peta Dunia)
      32. 950 – Al Majrett’ti Abu al-Qosim = Astronomi, Ilmu Kimia, Matematika
      33. 958 (Meninggal) – Abul Hasan Ali al-Mas’udi = Ilmu Bumi, Sejarah
      34. 960 (Meninggal) – Ibn Wahshiyh, Abu Bakar = Ilmu Kimia, Ilmu Tumbuh-tumbuhan
      35. 965-1040 – Ibn Al-Haitham (Alhazen) = Fisika, Optik, Matematika
      36. 973-1048 – Abu Rayhan Al-Biruni = Astronomy, Matematika, Sejarah, Sastra
      37. 976 – Ibn Abil Ashath = Kedokteran
      38. 980-1037 – Ibn Sina (Avicenna) = Kedokteran, Filsafat, Matematika, Astronomi
      39. 983 – Ikhwan A-Safa (Assafa) = (Kelompok Ilmuwan Muslim)
      40. 1001 – Ibn Wardi = Ilmu Bumi (Peta Dunia)
      41. 1008 (Meninggal) – Ibn Yunus = Astronomy, Matematika.
      42. 1019 – Al-Hasib Alkarji = Matematika
      43. 1029-1087– Al-Zarqali (Arzachel) = Matematika, Astronomi, Syair
      44. 1044– Omar Al-Khayyam = Matematika, Astronomi, Penyair
      45. 1060 (Meninggal) – Ali Ibn Ridwan Abu Hassan Ali = Kedokteran
      46. 1077– Ibn Abi Sadia Abul Qasim = Kedokteran
      47. 1090-1161 – Ibn Zuhr (Avenzoar) = Ilmu Bedah, Kedokteran
      48. 1095 – Ibn Bajah, Mohammed Ibn Yahya (Avenpace) = Astronomi, Kedokteran
      49. 1095 – Ibn Bajah, Mohammed Ibn Yahya (Avenpace) = Astronomi, Kedokteran
      50. 1097 – Ibn Al-Baitar Diauddin (Bitar) = Ilmu Tumbuh-Tumbuhan, Kedokteran
      51. 1099 – Al-Idrisi (Dreses) = Ilmu Bumi (Geography), Ahli Ilmu Hewan, Peta Dunia (Peta Pertama)
      52. 1110-1185 – Ibn Tufayl, Abubacer Al-Qaysi = Filosofi, Kedokteran
      53. 1120 (Meninggal) – Al-Tuhra-ee, Al-Husain Ibn Ali = Ahli Kimia, Penyair
      54. 1128 – Ibn Rushd (Averroe’s) = Filosofi, Kedokteran, Astronomi
      55. 1135 – Ibn Maymun, Musa (Maimonides) = Kedokteran, Filosofi
      56. 1136 – 1206 – Al-Razaz Al-Jazari = Astronomi, Seni, Insinyur mekanik
      57. 1140 – Al-Badee Al-Ustralabi = Astronomi, Matematika
      58. 1155 (Meningal) – Abdel-al Rahman al Khazin = Astronomi
      59. 1162 – Al Baghdadi, Abdel-Lateef Muwaffaq = Kedokteran, Ahli Bumi (Geography)
      60. 1165 – Ibn A-Rumiyyah Abul’Abbas (Annabati) = Ahli Tumbuh-tumbuhan
      61. 1173 – Rasheed Al-Deen Al-Suri = Ahli Tumbuh-tumbuhan
      62. 1180 – Al-Samawal = Matematika
      63. 1184 – Al-Tifashi, Shihabud-Deen (Attifashi) = Ahli Logam, Ahli Batu-batuan
      64. 1201-1274 – Nasir Al-Din Al-Tusi = Astronomi, Non-Euclidean Geometri
      65. 1203 – Ibn Abi-Usaibi’ah, Muwaffaq Al-Din = Kedokteran
      66. 1204 (Meninggal) – Al-Bitruji (Alpetragius) = Astronomi
      67. 1213-1288 – Ibn Al-Nafis Damishqui = Astronomi
      68. 1236 – Kutb Aldeen Al-Shirazi = Astronomi, Ilmu Bumi (Geography)
      69. 1248 (Meninggal) * Ibn Al-Baitar = Farmasi, Ahli Tumbuh-tumbuhan (Botany)
      70. 1258 – Ibn Al-Banna (Al Murrakishi), Azdi = Kedokteran, Matematika
      71. 1262 – Abu al-Fath Abd al-Rahman al-Khazini = Fisika, Astronomi
      72. 1273-1331 – Al-Fida (Abdulfeda) = Astronomi, Ilmu Bumi (Geography)
      73. 1360 – Ibn Al-Shater Al Dimashqi = Astronomi, Matematika
      74. 1320 (Meninggal) – Al Farisi Kamalud-deen Abul-Hassan = Astronomy, Fisika
      75. 1341 (Meninggal) – Al Jildaki, Muhammad Ibn Aidamer = Ilmu Kimia
      76. 1351 – Ibn Al-Majdi, Abu Abbas Ibn Tanbugha = Matematika, Astronomi
      77. 1359 – Ibn Al-Magdi, Shihab Udden Ibn Tanbugha = Matematika, Astronomi
      78. 1375 (Meninggal) – Ibn al-Shatir = Astronomi
      79. 1393-1449 – Ulugh Beg = Astronomi
      80. 1424 – Ghiyath al-Din al Kashani = Analisis Numerikal, Perhitungan

      Selain itu, berikut juga diberikan beberapa contoh hasil karya dari para ilmuwan dan cendikiawan Muslim yang dulu pernah mereka berikan bagi kemajuan peradaban umat manusia hingga sekarang ini;

      Gambar 1. Ilustrasi jenis hewan di dalam kitab Al-Hayawan (776-868 M)
      [Kitab al-Hayawan adalah sebuah kitab yang berisi ensklopedia berbagai jenis binatang karya ahli ilmu hewan muslim al-Jahiz. Pada kitab ini al-Jahiz memaparkan berbagai macam teori, salah satunya mengenai interaksi antara hewan dengan lingkungannya]

      Gambar 2. Peta Dunia karya Al-Idrisi pada tahun 1154 M


      Gambar 3. Sketsa otomatisasi menggunakan air karya Al-Razaz Al-Jazari (1136 – 1206 M)

      Gambar 4. Ilustrasi mesin pengangkat air dari abad 13 M


      Gambar 5. Ilustrasi pergerakan fase bulan karya Abu Rayhan Al-Biruni (973-1048 M)


      Gambar 6. Ilustrasi sebuah torpedo pada manuskrip Al-Rammah abad 14


      Gambar 7. Sketsa astronom muslim Ibn al-Shatir (1304-1375 M) tentang pergerakan planet Merkurius.


      Gambar 8. Kitab Al-Jabr karya Al-Khawarismi (780-850 M)


      Gambar 9. Bab, Mata dalam kitab Qanun fi Thib atau The Canon of Medicine karya Ibnu Sina (980-1037 M)


      Gambar 10. Anatomy tubuh manusia karya Ibnu Sina (980-1037 M)


      Gambar 11. Astrolobium dari abad 12 M


      Gambar 12. Ilustrasi sebuah Observatorium tahun 1262 M


      Gambar 13. Salah satu “Usmans Fermans” atau sertifikat tanah di masa Kekhalifahan Utsmaniyah (1512- 1924 M) sebagai jaminan dan perlindungan.


      Gambar 14. Irigasi bawah tanah (Qanat) abad ke 8 M


      Gambar 15. Ziryab sebagai ikon mode umat Muslim abad 8 M
      [Nama aslinya adalah Abul-Hasan Ali ibn Nafi atau yang lebih dikenal dengan nama Ziryab. Sosok pria kelahiran Irak tahun 789 M ini mendapatkan namanya karena karakter suaranya yang melodius dan warna kulitnya yang gelap. Ziryab bukan hanya merombak musik namun juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap gaya hidup dan cara berpakaian manusia di abad pertengahan]
      Saudaraku sekalian, dengan deretan ilmuwan muslim seperti itu, tidaklah sulit untuk menyetujui apa yang dikatakan George Sarton, ”Tugas utama kemanusian telah dicapai oleh para muslim. Filosof terbaik, Al-Farabi adalah seorang muslim. Matematikawan terbaik Abul Kamil dan Al-Khawarismi adalah muslim. Bapak kedokteran dunia yaitu Ibn Sina adalah seorang ulama muslim. Ahli geography (Ilmu Bumi) dan ensklopedia terbaik Al-Masudi adalah seorang muslim dan Al-Tabari ahli sejarah terbaik juga seorang muslim.
      Sejarah sebelum Islam dipenuhi dengan perkiraan-perkiraan, desas-desus dan mitos-mitos. Adalah seorang ahli sejarah muslim yang pertama kali memperkenalkan metode sanad dan matan yang melacak keaslian dan keutuhan sebuah informasi langsung dari saksi mata. Menurut seorang ahli sejarah Bucla “Metode ini belumlah dipraktekkan oleh Eropa sebelum tahun 1597 M.” Metode lainnya: adalah penelitian sejarah bersumber dari ahli sejarah terkemuka yatiu Ibn Khaldun. Pengarang dari Kashfuz Zunun memberikan daftar 1300 buku-buku sejarah yang ditulis dalam bahasa Arab pada masa beberapa abad sejak munculnya Islam.

      Sekarang lihatlah dunia kaum muslim. Kapankah Anda terakhir kali mendengar seorang muslim memenangkan hadiah Nobel dalam bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran? Bagaimana dengan publikasi ilmiah? Sayangnya, Anda tidak akan menemukan banyak nama kaum Muslim dalam bidang ilmu pengetahuan dan makalah-makalah ilmiah. Apa yang kurang? Alasan apa yang kita miliki? Andalah yang bisa menjawabnya.
      P
      sumber : http://mas-labbaika.blogspot.com/

      Jumat, 28 Maret 2014

      Kyai Saleh Darat Semarang


      Biografi Kyai Saleh Darat Semarang



      Semarang tempo dulu

      Salah satu ulama’ yang merupakan embahnya para ulama di Jawa adalah Kyai Saleh Darat, seorang waliyullah yg menjadi guru dari ulama-ulama’ yang mendirikan NU dan Muhammadiyyah, seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH Mahfuzd (pendiri Ponpes Termas, Pacitan), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH Idris (pendiri Ponpes Jamsaren, Solo), KH Sya’ban (ulama ahli falaq dari Semarang), Penghulu Tafsir Anom dari Keraton Surakarta, KH Dalhar (pendiri Ponpes Watucongol, Muntilan), dan Kiai Moenawir (Krapyak Yogyakarta), selain itu beliau juga merupakan guru spiritualitas RA. Kartini. Dengan demikian dapat dikatakan, Kiai Saleh Darat merupakan guru bagi ulama-ulama besar di Tanah Jawa. Bahkan Nusantara.

      Memang, Kiai Saleh Darat tak sepopuler tokoh lain. Ironis? Tentu saja. Sebab semasa hidupnya, Kiai Saleh Darat mashur di seantero Tanah Jawa, Nusantara, bahkan Asia Tenggara sebagai penulis kitab-kitab fikih, teologi, tassawuf, serta ilmu falak dengan gaya pegon (berhuruf Arab dengan bahasa Jawa).

      Perjalanan Intelektual Beliau

      KH.Soleh Darat merupakan sosok ulama yang memilki andil besar dalam penyebaran Islam di Pantai Utara jawa Khususnnya di Semarang. Kiai Saleh Darat lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara pada sekitar tahun 1820 dengan nama Muhammad Shalih. Dalam kitab-kitab yang ditulisnya, dia acap menggunakan nama Syeikh Haji Muhammad Shalih ibn Umar Alsamarani. pemberian nama Darat diselempangkan ke pundak beliau karena tinggal di kawasan dekat pantai utara Semarang yakni, tempat berlabuhnya orang-orang dari luar Jawa. Kini, nama Darat tetap lestari dan dijadikan prasasti nama kampung, Nipah Darat dan Darat Tirto. Saat ini kampung Darat masuk dalam wilayah Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara.

      Ayahnya, KH Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa. Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Saleh kecil mulai mengembara, belajar dari satu ulama ke ulama lain. Tercatat KH Syahid Waturaja (belajar kitab fiqih, seperti Fath al-Qarib, Fath Al Mu’in, Minhaj al-Qawim, dan Syarb al-Khatib).


      Kyai Kholil Bangkalan, teman seperjuangan beliau

      Kyai Saleh Darat menimba ilmu di pesantren-pesantren pada jamannya, ia banyak berjumpa dengan kyai-kyai masyhur yang dikenal memiliki kedalaman serta keluasan ilmu batin, dan kemudian menjadi gurunya. Di antara nama kondang tersebut salah satunya adalah K.H. M. Sahid yang merupakan cucu dari Syaikh Ahmad Mutamakkin, seorang ulama asal Desa Kajen, Margoyoso, Pati Jawa Tengah yang hidup di jaman Mataram Kartosuro pada sekitar abad ke-18. Dari Syaikhnya itulah, ia belajar beberapa kitab fiqh, seperti Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawim dan, Syarh al-Khatib. Terdapat catatan bahwa, karena kitab-kitab tersebut bukanlah “kelas” pengantar, maka mempelajarinya tak pelak membutuhkan waktu relatif lama.
      Safari perjalanan keilmuannya berlanjut kepada Kyai Raden Haji Muhammad Salih ibn Asnawi, di Kudus. Dari padanya beliau mengkaji Kitab Al-Jalalain al-Suyuti. Di Semarang beliau mendalami nahwu dan sharaf dari Kyai Iskak Damaran, kemudian belajar ilmu falak dari Kyai Abu Abdillah Muhammad al-Hadi ibn Baquni. Berlanjut kepada Ahmad Bafaqih Ba’lawi demi mengkritisi kajian Jauharah at-Tauhid buah karya Syaikh Ibrahim al-Laqani dan Minhaj al-Abidin karya Al-Ghazali. Masih di kota loenpia, Semarang-lah, Kitab Masa’il as-Sittin karya Abu al-Abbas Ahmad al-Misri, sebuah depiksi tentang ajaran dasar Islam populer di Jawa sekitar abad ke- 19, dicernanya dengan tuntas dari Syaikh Abdul al-Ghani.
      Tak pernah puas, haus ilmu, itulah sifat setiap ulama. Demikian pula beliau, nyantri kepada Kyai Syada’ dan Kyai Murtadla’ pun dijalaninya yang kemudian menjadikannya sebagai menantu. Setelah menikah, Sholeh Darat merantau ke Mekkah, Di tanah haram, dia berguru kepada ulama-ulama besar, antara lain Syaikh Muhammad Almarqi, Syaikh Muhammad Sulaiman Hasballah, Syaikh Sayid Muhammad Zein Dahlan, Syaikh Zahid, Syaikh Umar Assyani, Syaikh Yusuf Almisri serta Syaikh Jamal Mufti Hanafi. Beberapa santri seangkatannya, antara lain KH Muhamad Nawawi Banten (Syaikh Nawawi Aljawi) dan KH Cholil Bangkalan.

      Sepulang dari Makkah, Muhammad Saleh mengajar di Pondok Pesantren Darat milik mertuanya KH Murtadlo. Semenjak kedatangannya, pesantren itu berkembang pesat. Di pesantren inilah ulama’-ulama’ seperti ; KH Sya’ban, Kiai Moenawir, KH Ahmad Dahlan, KH Idris, KH. Hasyim Asy’ari, KH Mahfuzd menuntut ilmu kepada beliau.

      Kepribadian beliau

      Beliau adalah sosok yang sederhana dan bersahaja, Kesederhanaan yang ditopang kebersahajaan pribadinya, membuatnya selalu merendah dan menyebut dirinya sendiri sebagai orang Jawa yang tak faham seluk-beluk centang-perenang bahasa Arab.

      İni terlihat dari karangan-karangan beliau dimana pada setiap prolog selalu tertulis, “buku ini dipersembahkan kepada orang awam dan orang-orang bodoh seperti saya”. Dalam Terjemahan Matan al-Hikam pada pendahuluannya tertera begini, “Ini kitab ringkasan dari Matan al-Hikam karya Al-Alamah al-Arif billah Asy-Syaikh Ahmad Ibn Ata’illah, saya ringkas sepertiga dari asal, agar memudahkan terhadap orang awam seperti saya, saya terjemahkan dengan bahasa Jawa agar cepat paham bagi orang yang belajar agama atau mengaji

      Ternyata, basis pemikiran sederhana ini, justru memotivasinya untuk melahirkan beragam karya intelektual yang bertujuan terarah yakni, pembelajaran murah-meriah dan sederhana kepada orang Jawa yang tak mengerti benar bahasa Arab. Niat tulus inilah yang di kemudian hari diwujudkannya dalam bentuk buku tafsir atas kitab berbahasa Arab yang telah disuntingnya ke dalam bahasa Jawa.

      Pemikiran dan ajaran beliau

      Kyai Saleh Darat dikenal sebagai pemikir di bidang ilmu kalam. Ia adalah pendukung paham teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pembelaannya terhadap paham ini jelas kelihatan dalam bukunya, Tarjamah Sabil al-’Abid ‘ala Jauhar at-Tauhid. Dalam buku ini, ia mengemukakan penafsirannya terhadap sabda Rasulillah SAW mengenai terpecahnya umat islam menjadi 73 golongan sepeninggal Beliau, dan hanya satu golongan yang selamat.

      Menurut Saleh Darat, yang dimaksud Nabi Muhammad SAW dengan golongan yang selamat adalah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yaitu melaksanakan pokok-pokok kepercayaan Ahlussunah Waljamaah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.

      Beliau juga mengajak masyarakat untuk gemar menuntut ilmu. Kyai Saleh Darat selalu menekankan kepada para muridnya untuk giat menuntut ilmu. Beliau berkata “Inti sari Alquran adalah dorongan kepada umat manusia agar mempergunakan akalnya untuk memenuhi tuntutan hidupnya di dunia dan akhirat”.

      Kiai Saleh Darat memperingatkan kepada orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan dalam keimanannya, bahwa ia akan jatuh pada paham atau keyakinan sesat.


      Salah satu murid beliau, KH Hasyim Asy’ari.

      Dalam Kitab Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘Ala Jauharah al-Tauhid, KH Sholeh Darat menasehati bahwa, orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan sama sekali dalam keimanannya, akan jatuh pada paham dan pemahaman yang sesat. Sebagai misal, paham kebatinan menegaskan bahwa amal yang diterima oleh Allah Ta ’Ala adalah amaliyah hati yang dipararelkan dengan paham manunggaling kawulo Gusti-nya Syaikh Siti Jenar dan berakhir tragis pada perilaku taklid buta. Iman orang taklid tidak sah menurut ulama muhaqqiqin, demikian tegasnya. Lebih jauh diperingatkan juga, agar masyarakat awam tak terpesona oleh kelakuan orang yang mengaku memiliki ilmu hakekat tapi meninggalkan amalan-amalan syariat lainnya, seperti sholat dan amalan fardhu lainnya. Kemaksiatan berbungkus kebaikan tetap saja namanya kebatilan, demikian inti petuah religius beliau.

      Sebagai ulama yang berpikiran maju, ia senantiasa menekankan perlunya ikhtiar dan kerja keras, setelah itu baru bertawakal, menyerahkan semuanya pada Allah. Ia sangat mencela orang yang tidak mau bekerja keras karena memandang segala nasibnya telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Ia juga tidak setuju dengan teori kebebasan manusia yang menempatkan manusia sebagai pencipta hakiki atas segala perbuatan. Tradisi berpikir kritis dan mengajarkan ilmu agama ini terus dikembangkan hingga akhir hayatnya.

      Karangan-karangan beliau

      KH Saleh darat banyak menulis kitab-kitab dengan menggunakan bahasa PEGON ( hurup Arab dengan menggunakan Bahasa Jawa) Bahkan Dialah pelopor penulisan buku-buku agama dalam bahasa Jawa. Beliau pula yg menterjemahkan Alquran yakni Kitab Faid ar-Rahman yang merupakan Tafsir pertama di Nusantara yang ditulis dengan Hurup Pegon, Terjemahan Alquran dalam aneka versi bahasa, bukan hal asing lagi sekarang. Tapi, tidak di era akhir tahun 1800-an. Penjajah Belanda tidak melarang orang mempelajari Alquran, asal jangan diterjemahkan.

      Beliau menabrak larangan tak tertulis itu dengan mengakalinya, yakni dengan menulisnya menggunakan arab jawa atau Pegon sehingga tidak diketahui oleh belanda.

      Kitab inilah yang beliau hadiahkan kepada RA Kartini sebagai Kado pernikahannya dengan RM Joyodiningrat yang menjabat sebagai bupati Rembang. Kartini sungguh girang menerima hadiah itu. ”Selama ini surat Al Fatihah gelap bagi saya, saya tidak mengerti sedikit pun akan maknanya, tetapi sejak hari ini ia menjadi terang benderang sampai kepada makna yang tersirat sekali pun, karena Romo Kiai menjelaskannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami” demikian Kartini berujar saat ia mengikuti pengajian Saleh Darat di pendopo Kesultanan Demak.

      Karya karya beliau lainnya adalah Kitab Majmu’ah asy-Syariah, Al Kafiyah li al-’Awwam (Buku Kumpulan Syariat yang Pantas bagi Orang Awam), dan kitab Munjiyat (Buku tentang Penyelamat) yang merupakan saduran dari buku Ihya’ ‘Ulum ad-Din karya Imam Al Ghazali, Kitab Al Hikam (Buku tentang Hikmah), Kitab Lata’if at-Taharah (Buku tentang Rahasia Bersuci), Kitab Manasik al-Hajj, Kitab Pasalatan, Tarjamah Sabil Al-’Abid ‘ala Jauharah at-Tauhid, Mursyid al Wajiz, Minhaj al-Atqiya’, Kitab hadis al-Mi’raj, dan Kitab Asrar as-Salah.Hingga kini Karya-karya beliau masih di baca di pondok-pondok pesantren Di jawa.

      Wafatnya Beliau

      Kyai Saleh Darat wafat di Semarang pada hari “Jum’at Wage” tanggal 28 Ramadan 1321 H/ 18 Desember 1903 dan dimakamkan di pemakaman umum “Bergota” Semarang. dalam usia 83 tahun.

      Meski demikian, haul-nya dilaksanakan baru pada 10 Syawal. Itu semata-mata agar masyarakat bisa mengikutinya dengan leluasa, setelah merayakan Lebaran dan Syawalan. Pada hari itu masyarakat dari berbagai penjuru kota menghadiri haul Kiai Saleh Darat di kompleks pemakaman umum Bergota Semarang. Banyaknya umat yang hadir dalam acara itu, seolah menjadi tengara kebesaran namanya. Tak dapat dipungkiri, ulama akbar itu memang telah menjadi ikon Semarang di masa lalu

      Rabu, 26 Maret 2014

      AL-Kitab Injil Barnabas



      Bismillahir-Rah maanir-Rahim … Belum lama ini, pemerintah Turki mengumumkan tentang penemuan Kitab Injil Asli Barnabas, salah satu murid pertama Yesus (Isa Almasih).

      Hal yang tentu saja mengejutkan banyak pihak, termasuk kubu Vatikan itu sendiri.Sebagaimana diberitakan oleh DailyMail, basijpress dan NationalTurk, bahwa Injil Barnabas asli tersebut ditemukan pada tahun 2000 lalu di Turki, namun ditutupi oleh pemerintah Turki selama lebih dari 12 tahun, dan baru sekarang di beberkan ke publik.Lembaran-lembaran kulit hewan itu ditulis dengan huruf Syriac dengan dialek bahasa Aram, bahasa yang sama seperti bahasa yang umum dipakai pada masa Yesus Isa Almasih.

      Pemerintah Turki menyakini bahwa kitab kulit hewan tersebut adalah Injil Barnabas orisinal.Hal yang menarik dari Kitab Injil Barnabas Asli asal Turki tersebut menyatakan bahwa YESUS TIDAK PERNAH DI SALIB, dan terdapatnya ayat-ayat yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang benar serta pengakuan tentang kehadiran Nabi Akhir Jaman, Muhammmad SAW.

      Pengakuan itu terdapat pada bab 41 dari Kitab Barnabas yang ditemukan di Turki tersebut. Berikut ini terjemahannya :”Allah telah menyembunyikan diriNya sebagai Malaikat Agung Michael berlari mereka (Adam dan Hawa) dari surga, (dan) ketika Adam berbalik, ia melihat bahwa di atas pintu gerbang ke surga tertulis “La Ela ELA Allah, Mohamad Rasul Allah”Kitab yang masih menjadi perdebatan tersebut disebutkan kini disimpan di Justice Palace, Ankara, Turki dengan pengawalan ketat polisi bersenjata lengkap dan keamanan maksimum.

      Pihak Iran lewat Basij Press menyatakan bahwa apa yang tertulis di kitab Barnabas asli tersebut adalah bukti tentang kebenaran Islam, yang walau begitu ditanggapi oleh sinis dari berbagai pihak.

      Bahkan pihak Kristen lewat berbagai jamaatnya menyatakan bahwa Kitab Barnabas tersebut diragukan keotentikannya.
      Namun walau begitu pihak Vatikan lebih arif dengan menyatakan telah mengajukan permohonan resmi ke pemerintah Turki untuk membaca dan menganalisa keaslian kitab kontroversial itu.

      Para agamawan menyatakan bahwa jika Alkitab Barnabas tersebut terbukti asli, maka akan mengakibatkan rusaknya kredibilitas Gereja, dan akan menimbulkan revolusi agama Nasrani besar-besaran di seluruh Dunia.Tentu saja penemuan ini cukup menarik, sama menariknya dengan penemuan dan fakta sejarah bahwa Benua Amerika pertama kali di temukan oleh para pelaut tangguh Islam ^_^

      Wallahu a’lam bish-shawab …
      Semoga kita dapat mengambil pengetahuan yang bermanfaat dan bernilai ibadah ….

      saya ambil dari :
      http://moeflich.wordpress.com/

      Minggu, 07 Oktober 2012

      Peninggalan Rosululloh S A W.


      Inilah peninggalan peninggalan Rosululloh S a w yang masih utuh sampai sekarang






      Gigi dan beberapa Rambut Nabi S a w 



      Telumpah dan Telapak Nabi S a w




       Bentuk Pedang Pada masa Rosululloh S a w.



      Jejak kaki Rosululloh Saw.

      Surat Dari kulit Zaman Rosululloh S a w.

      Daun Pintu Kakbah masa Rosululloh S a w.

      Semoga dapat mengobati rasa rindu kita pada junjungan nabi yang mulia Muhammad S A W. dan menambah kecintaan kita terhadap beliau.












      Jumat, 05 Oktober 2012

      KH.Muntaha Al-Hafidz Kalibeber Wonosobo,



      KH Muntaha al-Hafiz bin Asy`ari bin `Abdul Rahim bin Muntaha bin Muhammad adalah pengasuh dan penerus Pondok Pesantren Tahfidzul Quran al-Asy`ariyyah. Beliau dilahirkan pada 9 Julai 1912 di desa Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah. Beliau memulakan pengajian formal agamanya di Darul Maarif, Banjarnegara di bawah asuhan Syaikh Muhammad Fadhlullah as-Suhaimi yang masih terhitung kerabatnya. Setelah tamat di Darul Maarif, beliau meneruskan mondok di Pesantren Tahfidzul Quran Kaliwungu, Kendal di bawah asuhan K.H. Utsman sehingga berhasil menghafal al-Quran ketika berusia 16 tahun. Setelah itu, beliau mendalami ilmu qiraah di Pesantren Krapyak dengan Kiyai Munawwir. Ilmu hadits, fiqh dan tafsir didalaminya di Pesantren Termas, Pacitan di bawah asuhan Kiyai Dimyathi.

      Dalam perjuangan mendapatkan kemerdekaan negara Indonesia, KH Muntaha tidak ketinggalan berjuang menjadi komandan BMT (Barisan Muslimin Temanggung) yang bertempur dengan penjajah Belanda di Palangan Ambarawa. Kiyai Muntaha juga terkenal sebagai seorang ulama multidimensi yang mempunyai berbagai idea yang cemerlang. Dalam dunia pendidikan KH Muntaha al-Hafiz merupakan teladan karena keberhasilannya mengembangkan pendidikan di bawah naungan Yayasan al-Asy'ariyyah. Yayasan tersebut saat ini menaungi berbagai tangga pendidikan, antara lain, Taman Kanak-kanak (TK) Hj. Maryam, Madrasah Diniyah Wustho, Madrasah Diniyah `Ulya, Sekolah Madrasah Salafiyah al-Asy'ariyyah, Tahfidzul Qur'an, SMP Takhasus Al-Quran, SMU Takhasus al-Quran, SMK Takhasus al-Quran, Universitas Sains al-Quran (UNSIQ), khusus untuk Perguruan Tinggi UNSIQ ini di bawah naungan Yayasan Pendidikan Ilmu-Ilmu al-Quran (YPIIQ). Selain mengatur soal pendidikan, beliau turut aktif menjalankan dakwah bahkan beliaulah yang membentuk Korps Dakwah Santri (KODASA). Korps ini merupakan wadah bagi aktiviti santri Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah dalam menyiarkan Islam, baik yang diperuntukkan bagi kalangan santri (sesama santri) dalam rangka meningkatkan kualiti diri, maupun kepada masyarakat banyak.

      Dalam perjuangan memasyarakatkan al-Quran, KH Muntaha telah mendirikan Yayasan Himpunan Penghafal al-Quran sebagai wadah untuk menghimpunkan para hafiz dan hafizah. Kepada murid-muridnya, beliau anjurkan agar mengkhatam al-Quran seminggu sekali. Selain menghafal al-Quran, beliau turut mengarang sebuah tafsir al-Quran diberi jodol "Tafsir al-Munthaha".




      KH. Muntaha Al-Hafizh
      Kecintaan Allahuyarham Mbah Muntaha sapaan akrab KH. Muntaha Al-Hafizh Kalibebeber Wonosobo terhadap Al-Qur’an tak dapat diragukan lagi. Hampir seluruh usianya dihabiskan untuk menyebarkan dan menghidupkan Al-Qur’an.
      Yang Paling monumental adalah gagasannya membuat mushaf Al-Qur’an Akbar (Al-Qur’an Raksasa) dengan tinggi 2 meter, lebar 3 meter dan berat 1 kuintal lebih. Sebuah karya maha agung yang sempat dikala itu diusulkan masuk ke Guiness Book Of Record.
      KH Muntaha al-Hafizh lahir di desa Kalibeber kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo dan wafat di RSU Tlogorejo Semarang, Rabu 29 Desember 2004 dalam usia 94 tahun. Ada beberapa keterangan berbeda tentang kapan tepatnya Mbah Muntaha Lahir.
      Pertama, ada yang mengatakan Kiai Muntaha lahir pada tahun 1908. Kedua, ada pula yang menyatakan bahwa Kiai Muntaha lahir pada tahun 1912. Hal ini didasarkan pada dokumentasi pada KTP / Paspor dan surat-surat keterangan lainnya, Mbah Muntaha lahir pada tanggal 9 Juli 1912.
      Kiai Muntaha adalah putra ketiga dari pasangan KH. Asy’ari dan Ny. Safinah. Sebelum Kiai Muntaha, telah lahir dua kakaknya, yakni Mustaqim dan Murtadho.
      Sejak kecil hingga dewasa, Kiai Muntaha menimba banyak ilmu dari sejumlah Kiai Pesantren. Sebelum itu, Kiai Muntaha mendapat didikan langsung dari kedua orang tuanya, KH. Asy’ari dan Ny. Safinah.
      Lahir dalam keluarga Pesantren, Kiai Muntaha banyak memperoleh didikan berharga dari Ayah dan Ibundanya seperti membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman. Kedua orang tuanya memang dikenal sangat telaten dan sabar dalam mendidikan putra-putrinya.
      Selanjutnya dari Kalibeber, Kiai Muntaha memulai perjalanan menuntut ilmunya ke berbagai Pesantren di tanah air. Kiai Muntaha sebagaimana umunya santri dizaman itu berkenala untuk mencari ilmu dari Pesantren ke Pesantren berikutnya.
      Ada satu hal sangat menarik berkaitdan dengan proses pencarian ilmu Kiai Muntaha saat masih muda. Ketika Kiai Muntaha berangkat menuntut ilmu ke, Pesantren Kaliwungu,Pesantren Krapyak, dan Pesantren Termas, ia selalu menempuh perjalanan dengan cara berjalan kaki. Melakukan riyadhah demi mencari ilmu semacam itu dilakukan Kiai Muntaha dengan niatan ikhlas demi memperoleh keberkahan ilmu.
      Di setiap melakukan perjalanan menuju Pesantren, Kiai Mutaha selalu memanfaatkan waktu sambil mengkhatamkan Al-Qur’an saat beristirahat untuk melepas lelah. Kisah ini menunjukkan kemauan keras dan motivasi spiritual yang tinggi yang dimiliki Kiai Muntaha dalam mencari ilmu.
      Setelah berkenalan dari berbagai Pesantren, Kiai Muntaha kembali ke Kalibeber pada tahun 1950. Ia kemudian meneruskan kepemimpinan ayahnya dalam mengembangkan Al- Asy’ariyyah di desa kelahirannya, Kalibeber, Wonosobo.Di bawah kepemimpinan Mbah Muntaha inilah, Al-Asy’ariyyah berkembang pesat. Berbagai kemajuan signifikan terjadi masa ini.
      Dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, KH. Muntaha adalah pribadi yang bersahaja. Mbah Muntaha sangat sayang kepada keluarga, santri dan juga para tetangga, serta masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
      Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat
      Kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an sebenarnya berawal dari kecintaan ayahandanya , Kiai Asy’ari terhadap Al-Qur’an. Dalam usia relatif muda yakni 16 tahun, Kiai Muntaha telah menjadi hafizh Al-Qur’an.
      Hampir seluruh hidup Mbah Muntaha didedikasikan untuk mengamalkan dan mengajarkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada para santrinya dan juga pada masyarakat umumnya.
      Dalam kesehariannya Mbah Muntaha selalu mengajar para santri yang menghafalkan Al-Qur’an. Para santri selalu tertib dan teratur satu per satu memberikan setoran hafalan kepada Kiai Muntaha. Mbah Muntaha selalu berjuang untuk menanamkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada santri-santrinya.
      Sepanjang hidup Mbah Muntaha, Al Qur’an senantiasa menjadi pegangan utama dalam mengambil berbagai keputusan, sekaligus menjadi media bermunajat kepada Allah Swt. Mbah Muntaha tidak pernah mengisi waktu luang kecuali dengan Al-Qur’an.
      Sering Kiai Muntaha mebaca wirid atau membaca ulang hafalan Al-Qur’an di pagi hari seraya berjemur. Menurutnya, wirid dan dzikir yang paling utama adalah membaca Al-Qur’an. Itulah sebabnya, Kiai Muntaha menasehati para santri untuk mengkhatamkan Al-Qur’an paling tidak seminggu sekali.
      Kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an juga diwujudkan melalui pengkajian tafsir Al-Qur’an, dengan menulis tafsir maudhu’i atau tafsir tematik yang dikerjakan oleh sebuah tima yang diberi nama Tima Sembilan yang terdiri dari sembilan orang ustadz di Pesantren Al-Asy’ariyyah dan para dosen di Institut Ilmu Al-Qur’an (sekarang UNSIQ) Wonosobo. Gagasan Kiai Muntaha tentang penulisan tafsir ini mengandurng maksud untuk menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada masyarakat luas.
      Dan puncak realisasi kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an ditunjukkan dengan perealisasian idenya tentang penulisan Al-Qur’an dalam ukuran raksasa yang sering disebut dengan Al-Qur’an akbar utuh 30 juz.
      Al-Qur’an akbar itu ditulis oleh dua santri Al-Asy’ariyyah yang juga mahasiswa IIQ yaitu H. Hayatuddin dari Grobogan dan H. Abdul Malik dari Yogyakarta. Ketika penulisan Al-Qur’an akbar yang kertasnya merupakan bantuan dari Menteri Penerangan (H. Harmoko di kala itu) itu selesai, Al-Qur’an itu pun diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia di istana negara.
      Mungkin Kiai Muntaha melihat banyak orang Islam telah meninggalkan Al-Qur’an, atau bahkan sama sekali tidak mau membaca Al-Qur’an, sehingga Mbah Muntaha tidak henti-hentinya menasehati anggota Hufadz wa Dirasatal Qur’an (YJHQ) untuk terus memasyarakatkan Al-Qur’an. Dakwah serupa juga selalu Mbah Muntaha sampaikan saat Beliau berkunjung ke berbagai belahan dunia seperti Turki, Yordania, Mesir dan lain sebagainya.
      Dari hal-hal yang sudah disebutkan, menjadi jelas bahwa sosok dan pribadi Kiai Muntaha al-Hafidz adalah sosok sosok yang sangat mencintai Al-Qur’an secara fisik maupu nbatin. Seluruh hidupnya diperuntukkan untuk berdakwah menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an ke masyarakat.
      KH Muntaha al-Hafiz menghembuskan nafasnya yang terakhir pada hari Rabu, 29 Disember 2004 dalam usia kira-kira 92 tahun.
      Semoga beliau selalu digolongkan menjadi Ahlul Al-Quran hidup bersama para Sidiqin Syuhadak dan para Solikhin ila yaumiddin wa ila Jannatinna`im dan
      Mudah-mudahan rahmat Allah sentiasa dilimpahkan ke atas beliau, guru-guru beliau ,Keluarga dan dzuriyyah beliau serta muslimin muslimat sekaliannya.........al-Fatihah





      Pada sekitar tahun 1900 bentuk pesantren di Kajen mulai berbentuk klasikal atau dapat dikata mulai tertata rapi meski belum berwujud madrasah/sekolah. Adalah KH. Nawawi putra KH. Abdullah yang memprakarsai berdirinya Pondok Kulon Banon yang dikemudian hari bernama Taman Pendidikan Islam Indonesia (TPII). Selang dua tahun di susul oleh KH. Siroj, putra KH. Ishaq juga mendirikan Pondok Wetan Banon yang dikemudia hari bernama Salafiyah. Penamaan Kulon dan Wetan Banon ini disandarkan pada letak posisinya dari makam Kanjengan, makan dekat pesarean Syekh Mutamakkin yang diyakini makam para ningrat Pati. Keberadaan makam itu yang dikelilingi tembok besar (Banon) menjadikan kompas bagi masyrakat Kajen untuk menyebut pesantren yang berdiri hampir bersamaan itu. Baru sekitar delapan tahun (1910), KH. Abdussalam (Mbah Salam), saudara KH. Nawawi mendirikan pondok di bagian paling Ujung Barat desa Kajen, dan dinamakan Pondok Pesantren Polgarut yang dikemudian hari bermama Pondok Pesantren Maslakul Huda Polgarut Utara (PMH Putra). Ketiga pesantren di atas boleh dikata awal kebangkitan pesantren di Kajen yang kemudian baru muncul pesantren-pesantren kecil lain yang jika ditelusuri tidak terlepas dari ikatan keluarga dengan ketiga bani tersebut. Bahkan masyarakat meyakini bahwa ketiga ulama tersebutlah yang kemudian menjadi panutan di desa Kajen. Pradjarta Dirdjosanjoto pernah melakukan penelitian tentang perkembangan Islam di sekitar wilayah Tayu, menganggap bahwa keturunan ketiga bani (Bani Siroj, Bani Nawawi dan Bani Salam) tersebut yang kini mempunyai pengaruh besar di desa Kajen. Embrio Pondok Kajen Wetan Banon yang berdiri tahun 1902 merupakan bentuk kepedulian KH. Siroj untuk meneruskan perjuangan Syekh Mutamakkin dalam menegakkan kebenaran agama Allah. Pada masanya, karena beliau sebelumnya seorang saudagar kaya raya, maka tak mudah untuk mendirikan beberapa pondokan dan satu musholla. Musholla di depan rumahnya merupakan tempat pada mana orang menimba ilmu dari beliau. Tempatnya yang pinggir jalan persis membuat orang mudah mengenalnya. Disertai dengan bangunan besar dari kayu di seberang jalan, KH. Siroj memulai pengajian-pengajian tentang keagamaan dan kemasyarakatan. Dengan kelebihannya yang mendapatkan ilmu ladunni, para santrinya pun semakin hari semakin bertambah. Inilah awal yang baik bagi Yayasan Salafiyah yang disertai dengan keikhlasan dan kebersahajaan pendirinya. Semoga benih yang telah ditanam KH. Siroj ini betul-betul dirawat oleh keturunannya secara benar dan amanah. Kemajuan Pesantren Wetan Banon yang cukup pesat tidak dapat dipisahkan dari kepribadian KH. Siroj yang merupakan ulama dan ilmuwan ternama. Para murid senior yang juga keluarga dekatnya, mendapat kesempatan untuk membantu mengelola pesantren dan mempunyai andil dalam kemajuan pesantren. Para santri tertarik dengan sistem pengajaran yang diberikan olehnya. Dapat dilihat muridnya seperti KH. Bisri Syamsuri yang menjadi ulama besar di Denanyar Jombang, atau KH. Hambali yang menjadi tokoh terkemuka di Waturoyo. Pondok Wetan Banon ini dipegang oleh KH. Siroj selama 26 tahun dalam kondisi ketegangan politik oleh kolonial Belanda. Sepeninggalan KH. Siroj pada tahun 1928, Pondok Wetan Banon ini diasuh oleh putranya, KH. Baedlowie dan KH.Hambali. Tepatnya pada tanggal 1 Januari 1935 barulah duet kepemimpinan ini membuka Madrasah yang dinamakan Madrasah Salafiyah. Madrasah ini dibangun tiga tahun setelah Madrasah Matholiul Falah yang dirikan oleh KH. Thohir, KH Durri, KH. Mahfudz dan KH. Abdullah Salam dari Kajen Kulon Banon dan Pol garut. Madrasah Salafiyah dibangun di samping rumah dan pondok Wetan Banon bagian timur yang kebetulan KH. Siroj memberikan tanah itu untuk dikelola oleh KH Baedlowie. Saat Salafiyah dipegang oleh sosok kharismatik KH Hambali dan KH Baedlowi, Madrasah sebagai pelengkap dari pengajaran agama di pesantren tersebut tampak pola-pola pengelolaannya yang masih digarap secara individual. Penamaan Salafiyah ini akhirnya lebih kentara dan dikenal oleh khalayak ramai untuk pesantrennya juga. Makanya masyrakat kemudian menyebut Madrasah Salafiyah tidak lepas dari Pondoknya, yaitu Pondok Wetan Banon yang kemudian entah mulai kapan berganti dengan Pondok Salafiyah. Hanya sekitar enam tahun madrasah ini melakukan aktifitasnya, namun sejak masa pendudukan fasis militer Jepang (1942) madrasah ditutup sementara. Kajen menjadi tempat yang diawasi secara ketat. Beberapa pengelola Madrasah Salafiyah ikut terjun ke kancah politik perjuangan, seperti ke Hisbullah atau menangani keagamaan di Pemerintah (sekarang DEPAG). Peristiwa ini mengakibatkan banyak warga pria Kajen meninggalkan desanya untuk mencari suaka, dan ikut terjun memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tak ketinggalan KH. Hambali. KH. Hambali pergi ke rumah mertuanya di Bareng Jekulo Kudus. Dan disana pada tahun 1955, KH. Hambali juga membuka madrasah dan pesantren baru yang juga dinamakan Salafiyah. Setelah situasi tanah air mengijinkan pada tahun 1945 madrasah Salafiyah Kajen dibuka kembali, di bawah asuhan KH Baedlowie dengan dibantu H. Hamzawie dan angkatan mudanya. Pada tahun 1948 berkat ketekunan dari pengelola madrasah Salafiyah sudah mendapat pengakuan dari pemerintah. Bahkan pada tahun 1950, Salafiyah mendapatkan subsidi pemerintah yang berupa tenaga pengajar dan alat-alat sekolah. Pada masa ini gedung Madrasah Salafiyah baru tiga lokal di samping barat kediaman KH. Baedlowie dan beberapa lokal di depan rumahnya. Kemampuan KH. Baedlowie mengajak angkatan muda dan santri-santrinya yang dianggap mumpuni untuk ikut bergabung cukup memadai sampai metode klasikal dan tradisi diskusi/musyawarah diterapkan. Para santri begitu tekun dan merasa cocok dengan metode seperti ini. Sehingga semakin banyak siswa yang belajar di madrasah Salafiyah. Dalam hal pelaksanaannya, KH. Baedlowie menyerahkan pengelolaan Madrasah Salafiyah kepada KH Muzayyin Hadi. Dengan kemampuan KH. Muzayyin Hadi ini tampak adanya bentuk kerangka keorganisasian yang bagus. Atas perkembangan yang baik ini pada tahun 1956 dibukalah kelas tingkat Tsanawiyah tiga tahun, dan pada tahun 1958 madrasah Salafiyah mendapat PIAGAM (Pengakuan wajib belajar) dari pemerintah/Departemen Agama Republik Indonesia). Pada sekitar tahun 1960, atas usulan para generasi mudanya, pesantren ini dinamakan Taman Pendidikan Tamrinul Huda (TPTH), namun tak begitu lama atas kesepakatan keluarga namanya dirubah kembali ke semula, yaitu Pesantren Salafiyah. Perubahan nama itu tidak mempengaruhi proses pertumbuhan madrasahnya. KH. Muzayyin Hadi tetap berkiprah sampai ia non-aktif. Dan kepengurusan dipegang oleh keponakan KH. Baedlowi yang telah menjadi sarjana muda yaitu H. Hadziq Siroj, BA, putra KH. Abdul Kohar. Ia melakukan pembenahan sistem keorganasiasian, tata kerja, administrasi dan mata pelajaran. Pada tahun 1968, Madrasah Salafiyah mampu mendirikan tingkat Aliyah tiga tahun dan tiga tahun kemudian yaitu tahun 1971 tingkat muallimat enam tahun di buka untuk perempuan yang ingin sekolah di madrasah Salafiyah. Pada kepengurusan Hadziq Siroj, keorganisasian Pelajar salafiyah mulai dibentuk dengan nama Persatuan Pelajar Salafiyah (PPS). Namun pada tahun 1973, kesibukan Hadziq Siroj di badan legislatif Daerah Pati meningkat, hingga kepengurusan pun diserahkan kepada Muwaffaq Noor. Perubahan ke arah perbaikan itu semakin tampak jelas saat kepemimpinannya dipegang Muawwaq Noor, menantu KH. Abdul Wahab (1973-1979). Pada kepengurusannya Madrasah Salafiyah menerima surat akte Pengesahan Perguruan Agama Islam dari pemerintah pada tahun 1975 nomor : K/127/III/75. Organisasi Siswa yang bernama PPS (Persatuan Pelajar Salafiyah) kemudian seiring perkembangan diubah menjadi KPS-KPPS (Keluarga Pelajar Salafiyah-Keluarga Pelajar Putri Salafiyah). Wadah ini merupakan alternatif yang apik bagi siswa-siswi yang mau mengembangkan kreatifitasnya. Menyadari hal itu Muwaffaq Noor dengan dibantu Mas’udi mengadakan penataran leadership selama sepekan pada setiap kepengurusan. Hasilnya sungguh luar biaa, bursa-bursa calon ramai dengan kampanye sepekan sebelum pemilihan. Hal itu menunjukkan sifat kompetitif di antara siswa. Pada era ini pula, tampak pelebaran sayap ke berbagai kegiatan dan drama. Antara lain pertukaran pelajar, pengembangan bahasa Arab dan bahasa Inggris, serta daya apresiasi seni yang mengantarkan Salafiyah ke kancah PORSENI se-eks Karisedanan Pati. Namun kekhasan di madrasah ini yang juga kekhasan madrasah di Kajen adalah adanya testing Baca Kitab ketika akan menyelesaikan studinya. Kitab yang ditestingkan adalah Fiqh tahrir dan Hadis Bulughul Marom. Tak ketinggalan tingkat tsanawinya. Mengenai pelaksanaan pengajian di pesantrennya, tetap berjalan seperti biasa dengan metode bandongan, sorogan yang dipandang masih efektif. Karena kondisi KH. Baedlowie sakit parah, maka pengelolaannya pesantren dilakukan oleh KH. Faqihuddin, putra KH. Baedlowie. Dengan dibantu oleh saudara-saudaranya dan santri senior, santri yang berdatangan juga semakin meningkat. Hingga harus membangun gedung di depan rumah KH. Faqihuddin untuk menambah daya tampung santri. Proses pengajaran di pesantren pada saat ini dipandang berjalan seiring dan saling melengkapi dengan kurikulum yang diajarkan di madrasah. Berbeda dengan tahap-tahap metamorfosis sebelumnya, ketika kepemimpinan madrasah kembali ke tangan H. Hadziq Siroj (1980-1997), peningkatan mutu dan sistem yang ditampilkan sungguh mencolok. Sekitar tahun 1982 dibentuk tim drumband yang di kemudian hari mengharumkan Salafiyah. Mulai saat itu pula sistem pendidikan di Salafiyah terkait dengan sistem pendidikan pemerintah. Sebagai manifestasinya adalah dengan adanya persamaan ujian dan pengambilan jurusan. Dalam hal pengambilan jurusan, Salafiyah mengalami lika-liku dan proses yang panjang. Pertama kali Salafiyah mengikuti persamaan ujian tahu 80-an dan mengambil jurusan IPS. Semula induknya di Boyolali, Solo namun kemudian dialihkan Kanwil (DEPAG) ke Semarang. Pada era 80-an ini Madrasah Salafiyah dapat dikatakan masa bangkitya. Madrasah Salafiyah mempunyai siswa yang boleh dikata kuantitasnya dan kualitasnya terbaik di data statistik Semarang. Meski pada tahun 1980 kondisi KH. Baedlowie sedang sakit parah, tidak menghalangi perjuangan beliau untuk berjuang lewat jalur pendidikan. Dalam kondisi terbaring, KH. Baedlowie menganjurkan untuk memperluas spektrum ruang gerak Salafiyah. Pada tanggal 2 Pebruari 1981, lembaga tersebut dijadikan Yayasan yang diberi nama Yayasan Assalafiyah kedudukan tetap berpusat di desa Kajen Margoyoso Pati. Namun di tengah alur yang semakin membaik ini, datanglah sebuah berita duka pada subuh hari Jum’at Pahing tanggal 3 Ramadhan 1402/25 Juni 1982 tentang wafatnya KH Baedlowi. Untuk pertama kalinya, Yayasan ini diketuai oleh KH. Faqihuddin yang juga menjadi pengasuh Pesantren Salafiyah. Untuk sekertarisnya dipegang saudara sepupunya, K. Masruhin dengan dibantu oleh saudara-saudara yang lain baik dari keturunan KH. Abdul Kohar, KH. Baidlowie maupun Nyai. Hj. Fathimah. Masa kepngurusannya hingga kini belum juga diadakan restrukturisasi meskipun ada beberapa personil yang sudah meninggal dunia. Pada era ini, Madrasah Salafiyah tetap melaju pesat. Penambahan-penambahan gedung tak dapat dielakkan lagi. Ada 18 Lokal untuk proses belajar mengajar. Untuk pelajar putra masuk pagi sedangkan pelajar putri masuk siang. Namun, pada era ini pihak pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mengenai jurusan untul Madrasah tingkat Aliyah. Dengan beberapa konsideran dan pertimbangan yang matang oleh para dewan guru, Madrasah Salafiyah mengganti jurusan IPS menjadi jurusan Agama. Pergantian ini terjadi pada tahun 1987. Siswa pada masa ini sudah mencapai 2000 orang dan kebanyakan berasal dari daerah Pati dan selebihnya dari kabupaten tetangga. Namun setelah delapan periode berlangsung, kebijakan pemerintah pusat menghapus jurusan agama jikalau tidak memenuhi syarat. Jurusan agama atau yang dsiebut MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan) hanya dilanjutkan jika memenuhi dua syarat, yaitu siswa-siswinya harus diasramakan dan harus ada tutor, tiap sepuluh anak memiliki satu tutor. Menimbang dua syarat tersebut tidak bisa dipenuhi maka Salafiyah memutuskan untuk membubarkan jurusan Agama dan mulai tahun 1994/1995 untuk kelas satu menjadi MAN (Madrasah Aliyah Negeri) dengan pilihan jurusan Sosial. Dan setahun kemudian dicoba membuka satu kelas MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan), namun baru berjalan setahun ternyata kurang mampu untuk mengimbangi kurikulum yang ada. Hingga akhirnya dileburkan kembali dalam jurusan Sosial. Pilihan ini tetap berjalan sampai sekarang (2001). Seputar penghapusan jurusan agama dan peralihannya ke jurusan IPS sebenarnya menjadi perbincangan sendiri. Para pengajar dan pengurus Yayasan Assalafiyah memberikan respons yang berbeda. Seperti pendapat Sholihul Hadi, Wali Aliyah, yang mengatakan bahwa peralihan jurusan tersebut akan mendatakan kesulitan baru bagi Salafuyah yakni kesulitan mendapatkan tenaga guru untuk jurusan IPS. Hal senada juga dikemukakan oleh HA, Soleh Ibrahim. Menurutnya, posisi Salafiyah saat ini cenderung menurun untuk bertindak dan bergerak yang lebih hati-hati. Karena diakuinya bahwa menciptakan bentuk pertimbangan antara ilmu agama dan ilmu dunia sangatlah rumit. Namun secara optimis, KH Ali Ajib Baedlowi mengatakan bahwa peralihan jurusan agama ke jurusan IPS tidak perlu dirisaukan karena Salafiyah mendapat peluang besar dalam mencapai idealismenya untuk menelorkan generasi paripurna akseleratif pada tuntutan eranya, mampu menjadikan seniman strategi yang layak tampil di masyarakat. Di astu sisi, generasi paripurna tersebut berperan sebagai cerdik cendekia yang ikut ambil bagian dalam penggarapan sains dan tehnologi dunia, memegang kendali laju IPTEK dan di sisi lain (sekaligus) sebagai ulama-ulama religius yang turut serta memberi corak keagamaan dalam dunia IPTEK, menanamkan unsur-unsur religi ke alam berbagai bidang tehnologi dan menjadi sosok pengayom masyarakat sehingga lengkaplah mereka berperan sebagai Khalifah fil ardhi. Menanggapi hal itu, KH. Muhibbi mengemukakan beberapa hal yang diperlukan agar tercipta siswa-siswi yang sesuai dengan krteria KH Ali Ajib, yaitu kegetolah guru dalam menyampaikan materi, kesadaran dan kesungguhan siswa menerima materi dan kecintaan siswa terhadap materi .

      Sejarah Tanah Fadak (Bag:3),

      Kapan Fatimah menuntut tanah Fadak? Mengapa Fatimah tidak menuntut tanah Fadak ke Ali, khalifah yang "sah"? Pertanyaan ini ternyata sering terlewatkan dari pikiran kita.
      Banyak cerita yang sering kita dengar, ternyata tidak benar. Kita mesti berpikir lagi tentang ukuran kebenaran sebuah cerita. Ternyata, ukuran bagi kebenaran sebuah cerita bukanlah dari siapa cerita itu kita dengar. Bisa jadi yang menceritakan adalah seorang ustadz yang kondang, atau buku yang dikemas sedemikian rupa agar nampak ilmiyah. Namun belum tentu cerita itu benar. Salah satunya adalah cerita pemukulan terhadap Fatimah, yang konon mengakibatkan tulang rusuknya patah dan janinnya gugur. Kita sebut saja peristiwa ini sebagai “peristiwa tulang rusuk”.
      Apakah kita masih perlu membahas peristiwa tulang rusuk? Bukankah peristiwa itu sudah terjadi di masa lalu, dan pembahasan kita hari ini tidak akan merubah peristiwa itu? Mestinya ada pertanyaan lain yang lebih mendasar, dan lebih penting untuk dipertanyakan, yaitu: Apakah peristiwa tulang rusuk benar-benar terjadi? Apakah kisah itu masih relevan untuk kita bahas hari ini? Nyatanya kisah itu masih menjadi bahasan bagi Syi’ah, khususnya ketika memprospek pengikut baru. Dengan tujuan untuk membunuh karakter para sahabat.
      Namun jika kita sedikit menggunakan logika, dan meneliti referensi-referensi yang ada, dapat kita temukan dengan mudah kejanggalan-kejanggalan pada peristiwa tulang rusuk. Sebenarnya tidak susah untuk menemukan kejanggalan-kejanggalan ini. Pada beberapa tulisan yang lalu kita membahas peristiwa tulang rusuk ini dari sisi riwayat, yang ternyata tidak ada riwayat yang jelas mengenai detil peristiwa itu, yaitu peristiwa pembakaran rumah, pemukulan terhadap Fatimah dan gugurnya janin. Kita sampai pada kesimpulan bahwa peristiwa tulang rusuk tercantum dalam banyak riwayat yang saling kontradiktif. Namun kali ini kita akan membahas dari sisi lain, dan akan kita hubungkan dengan peristiwa Fadak.
      Saat Fatimah meminta haknya atas tanah Fadak, dia memohonnya dari Abu bakar. Pertanyaannya, apa hubungan Abu Bakar dengan tanah Fadak? Inilah yang sampai saat ini tidak jelas. Apakah Abu Bakar memiliki kekuasaan atas tanah Fadak? Apakah Abu Bakar menduduki tanah Fadak dan menggunakan tanah itu untuk keperluan pribadinya? Atau ada alasan lain? Mengapa Fatimah meminta Fadak kepada Abu Bakar? Riwayat-riwayat yang ada –sepanjang pengetahuan kami– tidak menjelaskan alasan Fatimah. Di sisi lain, pembaca perlu ingat bahwa Abu Bakar telah diangkat menjadi khalifah oleh para sahabat Nabi, termasuk Ali sendiri ikut membaiat Abu Bakar.
      Ini bisa dipahami sebagai suatu bentuk pengakuan bahwa Abu Bakar adalah pimpinan kaum muslimin, yang berkompeten mengurus hal ihwal kaum muslimin. Kita sendiri sebagai contoh, jika ingin mengurus suatu urusan, kita menuju kantor yang berkompeten, untuk bertemu dengan orang yang berkompeten dalam urusan kita. Kita tidak menghadap ke KUA untuk mengurus SIM. Teman-teman kita yang ingin menikah tidak akan pergi menuju ke kantor pajak. Pergi ke kantor pajak untuk menikah adalah perbuatan yang tidak dilakukan oleh manusia normal hari ini. Sementara Fatimah merupakan figur yang ma’shum –menurut anggapan Syi’ah hari ini–, yang mencakup pengertian tidak pernah lupa, keliru, dan tidak berbuat kesalahan. Fatimah menghadap Abu Bakar sebelum Ali berbaiat, karena dalam kisah disebutkan bahwa Ali –yang konon gagah berani– dipaksa dan diseret untuk berbaiat kepada Abu Bakar. Fatimah menghadap Abu Bakar sebelum dirinya dipukul hingga tulang rusuknya patah, janinnya gugur dan tidak keluar rumah sampai wafatnya –menurut riwayat Syi’ah–.
      Jika memang Fatimah benar-benar ma’shum, terbebas dari salah dan lupa, maka tentunya ia tidak akan salah langkah. Pertanyaannya, mengapa Fatimah tidak menghadap kepada Ali sebagai pemegang tampuk imamah kaum muslimin? Malah menghadap kepada Abu Bakar yang dalam pandangan Syi’ah adalah imam yang merampok jabatan Ali? Atau ada kemungkinan lain, yaitu Fatimah menghadap Abu Bakar karena tahu bahwa Ali telah berbaiat kepada Abu Bakar, hingga Fatimah mengikuti suaminya dan mengakui Abu Bakar sebagai khalifah, yang juga telah dibaiat oleh imam Ali yang –konon– sebagai imam yang diberi mandat oleh Allah.
      Jika memang Ali telah berbaiat, maka untuk apa rumah Ali diserang, Fatimah dipukuli hingga tulang rusuknya patah, dan janinnya gugur? Padahal –menurut Syi’ah– penyerangan terhadap rumah Fatimah bertujuan memaksa Ali untuk berbaiat.
      Fatimah memiliki keberanian untuk menuntut haknya atas tanah Fadak, atas keyakinan bahwa Fadak adalah miliknya. Fatimah tidak takut persatuan kaum muslimin akan goncang ketika dia menuntut tanah Fadak. Namun Ali diam saja dan tidak melakukan apa-apa ketika amanat kenabian, ketika jabatan imamah dirampas oleh Abu Bakar. Sedangkan amanat dan wasiat Nabi sudah pasti lebih berharga dari sekedar tanah Fadak. Lalu yang kita heran, mengapa Fatimah menuntut sebidang tanah, lalu tidak menggugat dan menuntut Abu Bakar karena merampas imamah? Apakah tanah Fadak sudah sedemikian lebih berharga dibanding jabatan imamah yang diwasiatkan pada Ali??
      Siapa yang benar? Ali atau Fatimah?
      Jika Fatimah pergi menghadap Abu Bakar setelah “peristiwa tulang rusuk” maka anggapan bahwa Fatimah wafat akibat tulang rusuknya patah adalah sebuah kebohongan, karena bagaimana Fatimah bisa keluar dari rumah, pergi sendirian –tanpa ditemani oleh Ali– menghadap Abu Bakar untuk menuntut tanah Fadak, padahal tulang rusuknya patah, keguguran, dan sakit keras hingga tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumahnya sendirian, hingga Ali terpaksa menemani Fatimah di rumahnya. Sedangkan menurut Syi’ah, Fatimah tidak keluar rumah setelah peristiwa tulang rusuk, karena sakit, hingga wafatnya.
      Ada hal lain yang perlu kita pikirkan kembali, yaitu tentang malaikat Jibril yang mengunjungi Fatimah setelah Nabi wafat.
      Dari Ibnu Riab dan Abu ‘Auabidah dari Abu Abdullah mengatakan: “Fatimah hidup setelah ayahnya selama 75 hari, dengan menyimpan rasa sedih yang sangat karena ditinggal ayahnya, dan Jibril menunjungi Fatimah, menghiburnya dari kesedihan, serta memberitahukan tempat ayahnya di akherat, juga memberitahu apa yang kelak akan terjadi pada keturunannya, lalu Ali menulis semua itu, itulah mushaf Fatimah.” (Biharul Anwar, jilid. 22, hal. 545).
      Sementara Al-Kulaini meriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq, bahwa setelah Nabi wafat ada malaikat yang berbicara dengan Fatimah, dan menghibur kesedihannya, lalu Fatimah memberitahukan pada Ali tentang hal itu, lalu Ali berkata: “Jika engkau merasakan kedatangannya, dan mendengar suaranya, beritahukanlah padaku, lalu Fatimah memberitahu Ali tentang kedatangan malaikat, lalu Ali menulis seluruh apa yang didengar dari malaikat dan dijadikan sebagai sebuah mushaf, lalu berkata: Di dalamnya tidak ada mengenai halal dan haram, tetapi terdapat pengetahuan tentang apa yang akan terjadi.” (Al-Kafi, jilid. 1, hal. 240, Bashair Darajat, hal. 157, dan Biharul Anwar, jilid. 26, hal. 44, jilid. 43, hal. 80, dan jilid. 22, hal. 45).
      Al-Majlisi menyatakan, riwayat ini shahih, (Lihat: Mir’atul Uqul, jilid. 3, hal. 59, dan jilid. 5, Hal. 314).
      Ini artinya Jibril datang untuk menghibur Fatimah dan meringankan kesedihannya, di sini ada pertanyaan yang muncul, Apakah menghibur Fatimah lebih penting dari menjaga Fatimah, supaya janinnya tidak gugur dan tulang rusuknya tidak patah?
      Pertanyaan lain, jika memang Ali menulis dialog antara malaikat Jibril dengan Fatimah, apakah Ali menuliskan wahyu dari jibril tentang peristiwa tulang rusuk dan janinnya yang gugur, serta rumahnya yang dibakar para sahabat, ataukah malaikat Jibril memang tidak memperhatikan itu semua, dan sama sekali tidak membahas peristiwa tulang rusuk?
      Apakah Ali tidak menuliskan wahyu tentang dialog yang terjadi antara Fatimah dan Abu Bakar?
      Dalam kitab Al-Hujum ‘Ala Baiti Fatimah, oleh Abduz Zahra Mahdi, hal. 281-282 disebutkan:
      “Fatimah keluar membawa surat dari Abu Bakar, lalu bertemu Umar, Umar bertanya: Surat apa yang engkau bawa? Jawab Fatimah: Surat dari Abu Bakar untuk mengembalikan Fadak padaku. Umar berkata: Serahkan padaku, namun Fatimah enggan menyerahkannya, lalu ditendang oleh Umar, saat itu Fatimah sedang mengandung janin laki-laki yang diberi nama Muhsin, lalu janin Muhsin pun gugur, Umar pun menampar Fatimah…, lalu Umar mengambil surat itu dan merobeknya, lalu Fatimah sakit dan tinggal di rumah akibat dipukul Umar, lalu meninggal dunia.”
      Dalam Al-Ikhtishash, hal. 185, dan Biharul Anwar, jilid. 29, hal. 192
      Riwayat ini malah mengatakan lain, yaitu Abu Bakar telah memberikan surat penyerahan tanah Fadak kepada Fatimah. Lalu mengapa Abu Bakar selama ini dituduh menghalangi Fatimah untuk mengambil Fadak? Memang ada riwayat di Shahih Bukhari yang mengatakan demikian, namun mengapa Syi’ah lebih percaya Shahih Bukhari dari pada kitabnya sendiri?
      Yang jelas juga surat itu telah disobek oleh Umar, setelah Fatimah keluar dari tempat Abu Bakar, lalu Umar memukulnya hingga janinnya gugur, dan rusuknya patah. Berarti tidak ada cerita membakar dan mendobrak rumah? Lalu bagaimana? Mana yang benar?
      Dari Ali bin Ibrahim, dari ayahnya, dari Ibnu Abi Umair, dari Hisyam bin Salim, dari Abu Abdullah berkata: “Fatimah hidup sepeninggal ayahnya selama 75 hari, tidak pernah tersenyum dan tertawa, mendatangi kubur para syuhada setiap minggu dua kali, senin dan kami, lalu berkata: Di sini Rasulullah berdiri, dan di situ tempat kaum musyrikin. (Al-Kafi, jilid. 3, hal. 229).
      Riwayat ini dinyatakan shahih dalam beberapa kitab Syi’ah:
      Madarikul Ahkam fi Syarhi Ibadat Syara’i’ Al-Islam, oleh Muhammad bin Ali Al-Musawi, jilid. 8, hal. 472-473.
      Raudhatul Muttaqin fi Syarh Man La Yahdhuruhul Faqih, oleh Al-Majlisi Al-Awwal, Muhammad Taqiy bin Maqsud Ali Al-Asfahani, jilid. 5, hal. 341-342.
      Kasyful Litsam wal Ibham ‘an Qawaidil Ahkam, oleh Al-Fadhil Al-Hindi Muhamamd bin Hasan bin Muhammad Al-Asbahani, jilid. 6, hal. 279-280.
      Al-Hadaiq An-Nadhirah fi Ahkam ‘Itrah Thahirah, jilid. 4, hal. 170-171.
      Jawahirul Kalam fi Syarhi Syara’i’ Al-Islam, oleh Muhammad bin Hasan An Najafi, jilid. 20, hal. 87-88.
      Muhadzabul Ahkam fi Bayanil Halal wal Haram, jilid. 5, hal. 212-213.
      Abdul A’la Al-Sabzawari, jilid. 15, hal. 58-59.
      Madarikul ‘Urwah, Al-Isytahardi, jilid. 14, hal. 71-72.
      Imam Ma’shum menyatakan bahwa Fatimah berziarah ke kuburan secara teratur selama 75 hari, pada masa sisa hidupnya setelah Nabi wafat, Fatimah tidak tersenyum dan tertawa selama itu.
      Banyak pertanyaan –yang susah terjawab– muncul ketika kita menggunakan pikiran kita untuk menelaah.
      Bagaimana mungkin Fatimah yang rusuknya patah, janinnya gugur, tinggal di rumah hingga wafatnya, berziarah ke kubur secara teratur?? [hakekat/syiahindonesia.com]. Wallohu a`lam bishowab
      < Sebelumnya)



      Sejarah Tanah Fadak (Bag:2)

      Pertanyaan penting yang harus kita tanyakan pada diri kita sendiri, sebagai hamba Allah yang dikaruniai pikiran untuk menelaah segala sesuatu.
      Syi'ah Rafidhah banyak menuduh Abu Bakar membenci dan sengaja membuat Fatimah marah dan barang siapa membencinya berarti membenci Rasul SAW.
      Diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim dari hadist Al-Miswar bin Makhramah berkata: “Sesungguhnya Ali telah melamar putri Abu Jahal, Fatimah mendengarnya lantas ia menemui Rasul SAW, berkatalah Fatimah: "Kaummu menyangka bahwa engkau tidak pernah marah membela anak putrimu dan sekarang Ali akan menikahi putri Abu Jahal," maka berdirilah Rasulullah SAW mendengar kesaksiannya dan berkata: "Setelah selesai menikahkan beritahu saya, sesunggunhya Fatimah itu bagian dari saya, dan saya sangat membenci orang yang menyakitinya. Demi Allah, putri Rasulullah dan putri musuh Allah tidak pernah akan berkumpul dalam pangkuan seorang laki-laki." Maka kemudian Ali tidak jadi melamar putri Abu Jahal (khitbah itu).” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Fadhailu Shahabat).
      Riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah SAW berkata: "Fatimah bagian diriku, barang siapa memarahinya berarti memarahiku." (HR. Al-Bukhari, Fadhailu Shahabat, Fathul Bari 7/78 H. 3714).
      Maka tampak jelas bahwa yang pantas dipahami dari hadis tersebut adalah Ali melamar putri Abu Jahal dan membuat Fatimah marah. Dengan ini, bila hadist tersebut diterapkan pada setiap orang yang membenci Fatimah maka Ali adalah orang pertama yang termasuk menyakitinya.
      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata saat membantah keyakinan Rafidhah dalam permasalahan ini. Hadist ini disebabkan lamaran Ali terhadap putri Abu Jahal, penyebab yang masuk dalam sebuah lafadh itu menjadi pasti, dimana setiap lafadh yang berlaku pada suatu sebab tidak boleh dikeluarkan penyebabnya bahkan penyebab yang harus masuk. Disebutkan dalam sebuah hadist (apa yang meragukannya menjadikanku ragu dan yang menyakitkannya menyakitkanku).
      Dan yang dapat dipahami dengan pasti adalah bahwa lamaran terhadap putri Abu Jahal adalah meragukan dan menyakitkan. Nabi SAW dalam hal ini merasa ragu dan menyakitkan. Apabila ini merupakan sebuah ancaman yang harus ditimpakan pada Ali bin Abi Thalib dan bila bukan ancaman yang harus ditimpakan pada pelakunya maka Abu Bakar lebih jauh dari ancaman dari pada Ali.
      Diriwayatkan dari Fatimah Radhiyallahu ‘anha sesungguhnya ia setelah peristiwa itu rela terhadap Abu Bakar. Berdasarkan riwayat Baihaqi dengan sanad dari Sya’bi ia berkata: “Tatkala Fatimah sakit, Abu Bakar menengok dan meminta izin kepadanya, Ali berkata: "Wahai Fatimah ini, Abu Bakar minta izin." Fatimah berkata: "Apakah kau setuju aku mengizinkan?", Ali berkata: "Ya." Maka Fatimah mengizinkan, maka Abu Bakar masuk dan Fatimah memaafkan Abu Bakar. Abu Bakar berkata: "Demi Allah saya tidak pernah meninggalkan harta, rumah, keluarga, kerabat kecuali semata-mata karena mencari ridha Allah, Rasul-Nya dan kalian keluarga Nabi." (As-Sunan Al-Kubra, Lil Baihaqi, 6/301).
      Ibnu Katsir berkata: “Ini suatu isnad yang kuat dan baik yang jelas Amir mendengarnya dari Ali atau dari seseorang yang mendengarnya dari Ali. (Al-Bidayah Wa An-Nihaayah, 5/252).
      Dengan demikian terbantah sudah cacian Rafidhah terhadap Abu Bakar yang dikaitkan dengan marahnya Fatimah terhadapnya dan bila memang Fatimah marah pada awalnya namun kemudian sadar dan meninggal dalam keadaan memaafkan Abu Bakar.
      Hal ini tidak berlawanan dengan apa yang tersebut dalam hadist Aisyah yang lalu. "Sesungguhnya ia marah pada Abu Bakar lalu didiamkan sampai akhir hayatnya" hal ini sebatas pengetahuan Aisyah Radhiyallahu ‘anhasaja.
      Sedang hadist riwayat Sya’bi menambah pengertian kita bahwa Abu Bakar menjenguk Fatimah dan berbicara dengan Abu Bakar serta memaafkan Abu Bakar: Aisyah dalam hal ini menafikan dan Asya’bi menetapkan.
      Para ulama memahami bahwa ucapan yang menetapkan lebih didahulukan dari pada yang menafikan, karena kemungkinan suatu ketetapan sudah bisa didapatkan tanpa memahami penafian terutama dalam masalah ini, yaitu kunjungan Abu Bakar terhadap Fatimah bukan suatu peristiwa yang besar dan didengar di masyarakat.
      Apa yang telah para ulama ungkapkan tentang Fatimah adalah bahwa ia sama sekali tidak memboikot Abu Bakar. Rasul pun telah melarang kita memboikot seseorang lebih dari tiga hari. Sedang Fatimah tidak berbicara dengannya karena memang sedang tidak ada yang harus dibicarakan.
      Al-Qurthubi berkata seputar penjelasan hadist Aisyah: “Sesungguhnya tidak bertemunya Fatimah dengan Abu Bakar karena kesibukannya dalam menerima cobaan yang menimpanya dan kala keberadaannya selalu di rumah, rawi menggambarkan sebagai memutuskan hubungan. Padahal Rasul sudah bersabda bahwa tidak diperbolehkan bagi orang Islam untuk memutuskan hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari. Padahal Fatimah orang yang paling tahu apa yang dihalalkan dan diharamkan. Juga orang yang paling jauh dari perselisihan dengan Rasul.” (Hadist Al-Bukhari. Riwayat Abu Ayyub Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu, Lihat kitab: Fathul Bari, 10-492).
      Dengan demikian tampaklah yang benar dalam masalah ini dan hancurlah kebatilan yang dituduhkan oleh Syi'ah Rafidhah, dan terjawab sudah apa yang dituduhkan oleh Rafidhah terhadap hubungan Fatimah dan Abu Bakar.
      "WARISAN" DALAM AJARAN SYI'AH
      Tertulis dalam kitab-kitab Syi'ah Rafidhah berkenaan masalah warisan, diantara catatan yang paling penting adalah bahwa para wanita itu tidak mendapatkan warisan rumah tinggal.
      Berkatalah Muhammad bin Hasan dari Jafar bin Basyir dari Hasan dari Abi Murkholid dari Abdul Malik berkata: “Suatu hari Abu Jafar memperlihatkan tulisan Ali dalam tulisan/catatan: "Bahwa para kaum wanita itu tidak berhak medapatkan warisan rumah tinggal bila ditinggal mati oleh lelakinya (suaminya)." Abu Jafar berkata: "Demi Allah ini adalah tulisan tangan Ali…" (Biharul Anwar, jilid. 26, hal. 514).
      Dari Ali dari ayahnya, dari Jamil dari kerabatnya dan Muhammad bin Muslim dari Abi Jafar berkata: "Wanita-wanita itu tidak dapat mewarisi sedikitpun dari tempat tingal di muka bumi ini." (Al-Kaafi, juz. 7, hal. 128).
      Pertanyaan untuk kaum Syi'ah:
      Bagaimana Fatimah menuntut sesuatu yang diharamkan terhadap kaum wanita berdasarkan madzhab Syi'ah Rafidhah?
      Kenapa Abu Bakar dituntut untuk melakukan hal yang diharamkan?
      Kenapa Fatimah tidak mengikuti perintah Rasul setelah tuntutannya terhadap warisan?
      Apakah Fatimah keliru, wahai Rafidhah???
      Syi'ah berkata bahwa Abu Bakar telah menyelisihi ayat yang tertera dalam surat An-Nisa’. Dan membuat argumentasi dengan ayat lainnya dan ayat tentang doa Zakariya terhadap Allah agar memberikan warisan.
      Jawabannya adalah: Bahwa ayat tersebut tidak untuk umum seperti kisah Sulaiman - Zakariya yang tidak berkaitan dengan kepentingan harta benda. Namun orang-orang Syi'ah memahami secara umum tanpa menghiraukan pengecualian dan pengkhususan. Kemudian mereka mencaci maki Abu Bakar yang tidak memberikan warisan pada Fatimah Az-Zahra dari harta peninggalan Nabi. Karena menurut Syi'ah: Fatimah pernah berkata: "Wahai anak Abi Quhafah, engkau telah mewarisi dari ayahmu sedang saya tidak mendapat warisan dari ayahku."
      Riwayat ini tidak Mutawatir bahkan Ahad, maka tidak boleh men-takhsis ayat Al-Qur’an dengan hadits Ahaddengan sebuah petunjuk/dasar bahwa Umar bin Khattab menolak berita Fatimah binti Qois bahwa ayahnya tidak memberi rumah dan nafkah.
      Berbeda dengan firman Allah tentang kisah Nabi Zakaria ‘Alaihis salam agar Allah memberikan warisan kepadanya dan keluarga Ya’qub ‘Alaihis salam. Hal ini amat jelas bahwa para Nabi itu mewarisi dan mewariskan.
      Jawabannya: Bahwa hadits ini telah diriwayatkan oleh Khudzaifah bin Al-Yaman, Zubair bin Awam, Abu Darda’, Abu Hurairah, Al-Abbas, Ali, Ustman, Abdurrahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin Abi Waqas.
      Telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Malik bin Aus bin Al-Hadatsan bahwa Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu berkata di depan para sahabat dimana di sana ada Ali, Abbas, Ustman, Abdurrahman bin ‘Auf, Zubair bin Awam dan Sa’ad bin Abi Waqas: "Saya bersumpah, demi Allah yang dengan izinnya terwujudlah langit dan bumi, tahukah kalian bahwa Rasulullah SAW berkata: “Kami tidak mewariskan yang kami tinggalkan sebagai sedekah?" Mereka menjawab: "Benar," kemudian Umar menghadap ke arah Ali dan Abbas dan berkata: "Saya bersaksi kepada Allah, tahukah kalian bahwa Rasul pernah berkata begitu?”, lalu keduanya menjawab: "Ya.”
      Adapun suatu ucapan bahwa riwayat itu tidak ada yang tahu kecuali Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu. Ternyata riwayat di atas justru ada dalam kitab Syi'ah, diriwayatkan Al-Kulaini dalam kitab Al-Kaafi dari Al-Bukthtari dari Abi Abdillah Jafar As-Shadiq Radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya ia berkata: "Sesungguhnya ulama itu pewaris para Nabi dan para Nabi tidak mewariskan dirham atau dinar, melainkan mewariskan beberapa hadist, barang siapa telah mengambil sebagiannya berarti telah mengambil bagian yang sempurna."
      Warisan yang benar adalah warisan ilmu dan kenabian dan kesempurnaan kepribadian, bukan mewariskan harta benda dan uang.
      Termasuk ajaran Syi'ah yang masuk dalam pembahasan disini adalah bila Nabi tidak mewariskan sesuatu kepada seseorang, kenapa istri-istrinya yang suci mewarisi tempat tidurnya?
      Jawabannya: Semua itu salah, karena mengkhususkan tempat tidur kepada para suami itu semata-mata memang hak milik mereka bukan karena adanya semacam warisan, memang Nabi juga telah membuat dua kamar, satu untuk Fatimah dan satu untuk Usamah dan menyerahkannya dan sesuatu yang telah diberikan dari Nabi maka mereka berhak berbuat apa saja, karena benda itu sudah menjadi miliknya.[hakekat/syiahindonesia.com].


      < Sebelumnya                  Berikutnya >

      Sejarah Tanah Fadak (Bag :1)

      Bukannya ikut membela Fatimah –putri baginda Nabi SAW– Ali malah membela keputusan Abu Bakar yang dituduh Syi’ah menzhalimi Fatimah, sebenarnya siapa yang zhalim? Abu Bakar yang melaksanakan wasiat Nabi SAW atau Syi’ah yang menggugat imamnya yang ma’shum?


      Syi’ah selalu mengupayakan pembunuhan karakter terhadap Abu Bakar As-Shiddiq dengan mengangkat masalah Fadak, yang menurut Fatimah menjadi miliknya setelah wafatnya Nabi SAW. Tapi mari kita lihat sisi lain dari persoalan ini, sisi lain yang jarang diungkap oleh Syi’ah sendiri.


      Sebuah pertanyaan penting, jika memang tanah Fadak itu adalah benar milik Fatimah, apakah kepemilikan itu gugur setelah Fatimah wafat? Tentunya tidak, artinya ahli waris dari Fatimah yaitu Ali, Hasan, Husein dan Ummi Kultsum tetap berhak mewarisi harta Fatimah. Begitu juga ahli waris Nabi bukan hanya Fatimah, melainkan juga Abbas pamannya. Sejarah tidak pernah mencatat adanya upaya dari Abbas paman Nabi utnuk menuntut harta warisan seperti yang dilakukan oleh Fatimah. Selama ini Syi’ah selalu melakukan black campaign terhadap Abu Bakar yang dituduh menghalangi Fatimah untuk mendapatkan warisannya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika kita membaca riwayat-riwayat dari kitab Syi’ah sendiri yang memuat pernyataan para imam Syi’ah –yang tidak pernah keliru– yang setuju dengan keputusan Abu Bakar. Seakan-akan para imam Syi’ah begitu saja bertaklid buta pada Abu Bakar As-Shiddiq.


      Sampai hari ini Syi’ah masih terus menangisi tragedi Fatimah yang dihalangi oleh Abu Bakar dari mengambil harta warisan, tapi ternyata Ali setuju dengan keputusan Abu Bakar. Apakah Ali setuju dengan keputusan Abu Bakar yang menyakiti Fatimah? Ataukah keputusan Abu Bakar adalah tepat karena didukung oleh pernyataan dari imam ma’shum? Karena Imam ma’shum tidak pernah salah.


      Salah seorang ulama Syi’ah bernama Al-Murtadho Alamul Huda –saudara kandung As-Syarif Ar-Radhiy, penyusun kitab Nahjul Balaghah– menyatakan: “Saat Ali menjabat khalifah, ada orang yang mengusulkan agar Ali mengambil kembali tanah Fadak,” lalu dia berkata: “Saya malu pada Allah untuk merubah apa yang diputuskan oleh Abu Bakar dan diteruskan oleh Umar.” (Bisa dilihat dalam kitab, As-Syafi, hal. 213).


      Ketika Abu Ja’far Muhammad bin Ali yang juga dijuluki Al-Baqir –Imam Syi’ah yang kelima– saat ditanya oleh Katsir An-Nawwal yang bertanya: “Semoga Allah menjadikan aku sebagai tebusanmu, apakah Abu Bakar dan Umar mengambil hak kalian?”, dia menjawab: “Tidak, demi Allah yang menurunkan Al-Qur’an pada hamba-Nya untuk menjadi peringatan bagi penjuru alam, mereka berdua tidak menzhalimi kami meskipun seberat biji sawi,” Katsir bertanya lagi: “Semoga aku dijadikan tebusanmu, apakah aku harus mencintai mereka?” Imam Al-Baqir menjawab: “Iya, celakalah kamu, cintailah mereka di dunia dan akherat, dan apa yang terjadi padamu karena itu ialah menjadi tanggunganku.” (Bisa dilihat di Syarah Nahjul Balaghah, jilid. 4, hal. 84).


      Begitu juga Al-Majlisi yang biasanya bersikap keras terhadap sahabat Nabi terpaksa mengatakan: Ketika Abu Bakar melihat kemarahan Fatimah dia mengatakan: “Aku tidak mengingkari keutamaanmu dan kedekatanmu pada Rasulullah SAW, aku melarangmu mengambil tanah Fadak hanya karena melaksanakan perintah Rasulullah, sungguh Allah menjadi saksi bahwa aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Kami para Nabi tidak mewarisi, kami hanya meninggalkan Al-Qur’an, hikmah dan ilmu, aku memutuskan ini dengan kesepakatan kaum muslimin dan bukan keputusanku sendiri, jika kamu menginginkan harta maka ambillah hartaku sesukamu karena kamu adalah kesayangan ayahmu dan ibu yang baik bagi anak-anakmu, tidak ada yang bisa mengingkari keutamaanmu.’” (Bisa dilihat dalam kitab Haqqul Yaqin, hal. 201-202).


      Ibnul Maitsam dalam Syarah Nahjul Balaghah meriwayatkan kisah berikut:


      “Abu Bakar mengatakan kepada Fatimah: ‘Kamu akan mendapat bagian seperti ayahmu, Rasulullah SAW mengambil dari tanah Fadak untuk kehidupan sehari-hari, dan membagikan lainnya serta mengambil untuk bekal berjihad, aku akan berbuat seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, Fatimah pun rela akan hal itu dan berjanji akan menerimanya.’” (Syarah Nahjul Balaghah, Ibnul Maitsam Al-Bahrani, jilid. 5, hal. 107, Cet. Teheran).


      Sama seperti yang diriwayatkan oleh Ibnul Maitsam, Al-Danbali dan Ibnu Abil Hadid:


      “Bahwa Abu Bakar mengambil hasil Fadak dan menyerahkannya pada Ahlul Bait secukup kehidupan mereka, begitu juga Umar, Utsman dan Ali. (Bisa dilihat di kitab Syarah Nahjul Balaghah, karangan Ibnu Maitsam dan Ibnu Abil Hadid, juga dalam kitab Durah An-Najafiyah, hal. 332).


      Ternyata imam ma’shum mengakui keputusan Abu Bakar dalam masalah Fadak, walaupun demikian Syi’ah tetap saja menangisi Fatimah yang konon dizhalimi oleh Abu Bakar. Tetapi yang aneh, imam Ali –yang konon ma’shum– bukannya ikut membantu Fatimah merebut harta miliknya tetapi malah menyetujui keputusan Abu Bakar.


      Keputusan Abu Bakar yang dianggap Syi’ah sebagai keputusan yang keliru dan kezhaliman malah didukung oleh imam ma’shum. Berarti imam ma’shum ikut berperan serta menzhalimi Fatimah. Tetapi Syi’ah tidak pernah marah pada imam ma’shum, yang dijadikan objek kemarahan hanyalah Abu Bakar.


      Abu Bakar benar dalam keputusannya, dengan bukti dukungan imam ma’shum atas keputusannya itu. Jika imam ma’shum melakukan kesalahan maka dia tidak ma’shum lagi.


      Tetapi –seperti biasanya– kenyataan ini ditutup rapat-rapat oleh Syi’ah, sehingga barangkali anda hanya bisa menemukannya di situs ini. Syi’ah selalu menuduh Bani Umayah memalsukan sejarah, padahal Syi’ah selalu mengikuti jejak mereka yang dituduh memalsu sejarah. [hakekat/syiahindonesia.com].



      Berikutnya >

      Ahli Tafsir Zaman Shohabat

      Ahli Tafsir Golongan Sahabat

      Beberapa ahli tafsir yang memiliki kemampuan baik dan cukup berpengaruh dalam perkembangan ilmu tafsir.

      Imam Suyuthy dalam kitabnya Al-Itqan mengatakan:

      “Kalangan sahabat yang populer dengan tafsir ada sepuluh; khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali), Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay Ibnu Ka’ab, Zaid Ibnu Tsabit, Abu Musa Al-’Asy’ari dan Abdullah bin Zubair. Dan dari kalangan khalifah empat yang paling banyak dikenal riwayatnya tentang tafsir adalah Ali bin Abi Thalib r.a. sedang dari tiga khalifah yang lain hanya sedikit sekali, karena mereka lebih terdahulu wafatnya.

      Sebab sedikitnya riwayat dari ketiga orang sahabat yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman, dapat ditinjau kembali dari pendapat As-Suyuthy, yaitu karena pendeknya masa jabatan mereka disamping mereka meninggal lebih dahulu. Dari segi yang lain karena mereka bertiga hidup pada suatu masa dimana kebanyakan penduduk mengetahui dan pandai tentang Kitabullah, sebab mereka selalu mendampingi Rasulullah SAW. Karenanya, mereka mengerti dasar rahasia-rahasia penurunan, lagi pula mengetahui makna dan hukum-hukum yang terkandung dalam ayatnya. Sedang Ali r.a. hidup berkuasa setelah khalifah yang ketiga, yaitu pada masa dimana daerah Islam telah meluas. Banyak orang-orang luar Arab yang memeluk Islam sebagai agama baru. Generasi keturunan shahabat banyak yang merasa perlu untuk mempelajari Al-Qur’an serta memahami rahasia-rahasia dan hikmah-hikmahnya. Karena itu wajarlah riwayat daripadanya begitu banyak melebihi riwayat yang dinukil dari tiga khalifah lainnya.

      Berikut ini kami akan membicarakan sedikit terperinci tentang kalangan sahabat yang terkenal dengan tafsir Al-Qur’annya.




      a. Abdullah Ibnu Abbas

      Abdullah Ibnu Abbas adalah orang yang ternama dikalangan ummat Islam. Ia adalah anak paman Rasulullah SAW, yang pernah dido’akan oleh Nabi Muhammad SAW, dengan kata-kata, “Ya Allah berilah pemahaman tentang urusan agama dan berilah ilmu kepadanya tentang ta’wil”. Ia dikenal sebagai ahli bahasa/penterjemah Al-Qur’an. Ibnu Mas’ud berkata, “Penterjemah Al-Qur’an yang paling baik adalah Abdullah bin Abbas.” Dia adalah sahabat yang paling pandai/tahu tentang tafsir Al-Qur’an. Pada waktu beliau masih berusia muda, para pemuka sahabat mereka telah menyaksikan kebolehannya bahkan ia dapat menandingi mereka pula dapat menggugah keajaiban mereka dengan usianya yang sangal muda. Umar r.a. pernah mengikutsertakan Abdullah dalam Majelis Permusyawaratan bersama-sama dengan tokoh-tokoh Sahabat untuk bermusyawarah. Ia seringkali disodori permasalahan. Karena Umar menampilkan Ibnu Abbas maka agak sedikit mengundang perdebatan dikalangan sahabat. Diantara mereka ada yang mengatakan “Kenapa anak kecil ini dimasukkan bersama-sama kita”. Kami punya anak yang lebih besar/tua umurnya dibanding dengan dia.Dia mempunyai biografi yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya yang menunjukkan kebolehan ilmunya dan kedudukannya yang tinggi dalam hal penggalian secara mendalam tentang rahasia-rahasia Al-Qur’an sebagai berikut:




      Riwayat Al-Bukhari

      Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa’id ibnu Jabir, dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: “Umar mengikutkanku bersama tokoh-tokoh perang Badar. Dikalangan mereka ada yang bertanya dalam dirinya, lalu mengemukakan pendapat; “Kenapa anak ini diikutsertakan bersama kami padahal kami sungguh mempunyai anak yang seusia dengannya?” Umar menjawab: Dia adalah seorang yang sudah kalian ketahui, ia adalah orang yang terkenal kecerdasannya dan pengetahuannya. Pada suatu ketika, Umar memanggil mereka dan mengikutkanku bersama mereka hanya sekedar diperkenalkan kepada mereka. Tiba-tiba Umar (memberi kesempatan pada mereka untuk bertanya) berkata: “Apakah pendapat sekalian tentang firman Allah: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. (QS. An-Nashr: 1).




      Sebagian mereka ada yang berpendapat: “Kami diperintah menuju Allah dan meminta ampun pada-Nya, tatkala kami dibantu oleh-Nya dan diberi kemenangan”. Sebagain mereka yang lain bungkam seribu bahasa. Umar bertanya kepadaku: Bagaimana dengan pendapatmu (hai Ibnu Abbas). Aku jawab: “Tidak benar! Lalu menurut anda bagaimana?” Aku menjawab:“Persoalannya adalah tentang ajal Rasulullah SAW dimana Allah memberitahukan kepadanya”.

      Ia (Ibnu Abbas) menafsirkan/penaklukan Makkah. Itu adalah suatu tanda tentang ajalmu (hai Muhammad) karena itu bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan istighfarlah (mohon ampun) kepada-Nya. Sungguh ia adalah Penerima Taubat”. Seraya Umar berkata: “Demi Allah, saya tidak mengetahui kandungannya sebelum engkau jelaskan”.




      Kisah tersebut menyatakan begitu hebatnya daya kemampuan pemahaman serta pendapat Ibnu Abbas dalam menyimpulkan petunjuk Al-Qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali oleh orang-orang yang mendalam ilmu pengetahuannya. Tidaklah aneh kalau Ibnu Abbas menempati kedudukan yang tinggi dalam memahami rahasia kandungan Al-Qur’an karena Rasul telah mendo’akannya agar dia diberi pemahaman dan pendalaman dalam urusan Agama sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas sendiri dimana ia berkata: Rasul menyekapku seraya beliau bersabda:

      “Ya Allah berilah ia pemahaman dalam urusan Agama dan berilah ia pengetahuan tentang ta’wil”.

      Dalam riwayat lain redaksionalnya: “Ya Allah berilah ia pengetahuan tentang hikmah pengetahuan yang sungguh mendalam”. Ibnu Abbas dikenal dengan sebutan lautan karena begitu luas ilmunya. Diriwayatkan bahwa salah seorang datang kepada Abdullah bin Umar, ia menanyakan tentang langit dan bumi semula bersatu kemudian keduanya kami belah. Ibnu Umar menjawab: “Datanglah kepada Ibnu Abbas dan tanyakanlah kepadanya.” Setelah anda tanyakan, kembali lagi dan jelaskan kepadaku”. Orang tersebut pergi bertanya kepada Ibnu Abbas dan ia memberikan jawaban: “Langit bersatu (ratqan) maksudnya tidak turun hujan, dan yang dimaksud dengan bumi ratqan tidak tumbuh tanaman/gersang, kemudian Ia (Allah) menurunkan hujan dan menumbuhkan tanaman-tanaman. Setelah itu orang tersebut kembali kepada Ibnu Umar untuk memberitahukan hasilnya, seraya berkata: “Aku dulu telah mengatakan dengan geleng kepala karena keberanian Ibnu Abbas dalam hal menafsirkan Al-Qur’an, sekarang aku telah mengetahui benar bahwa ia telah dikaruniai ilmu”.




      Diriwayatkan pula bahwa Umar ibnu Khattab pada suatu ketika bertanya kepada Sahabat-sahabat Nabi: “Siapa yang menjadi sebab turunnya ayat di bawah ini, menurut pendapat kalian?” Seraya Umar membacakan ayat: “Apakah ada salah seorang diantaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur……” (QS. Al-Baqarah: 66)

      Mereka menjawab: “Allah Yang Maha Tahu”. Umar marah seraya berkata: “Jawab! Tahu atau tidak!” Ibnu Abbas menjawab: “Ada sedikit yang tergores dalam hatiku”. Umar berkata: “Hai anak saudaraku, katakanlah dan janganlah anda merasa minder/rendah diri”. Ibnu Abbas berkata: “ayat itu dijadikan suatu contoh perbuatan”. Umar berkata: “Perbuatan apa?”. Ibnu Abbas menjawab: “Seorang yang kaya lagi taat kepada Allah, ia didatangi oleh syaitan, dan terperdaya untuk melakukan maksiat sehingga amal perbuatannya tenggelam”. (HR. Al-Bukhari).

      Semuanya itu berikut dengan contoh-contohnya adalah menyatakan tentang keistimewaan ilmu pengetahuan Ibnu Abbas dan pemahamannya yang begitu luas sejak beliau berusia muda. Oleh karena itu ia tergolong dalam barisan tokoh pembesar Sahabat, ia sebagai pemuka umat yang sangat pandai dengan disaksikan oleh kalangan Sahabat itu sendiri.

      Guru-guru Ibnu Abbas

      Diantara Guru-guru besar yang mengajar ilmu kepada Ibnu Abbas selain Rasulullah SAW, yang mempunyai pengaruh yang menonjol terhadap daya pikiran dan kebudayaannya, antara lain Umar Ibnu Khattab, Ubay ibnu Ka’ab, Ali Ibnu Abi Thalib, dan Zaid Ibnu Tsabit. Kelima orang tersebut adalah guru-gurunya yang tetap. Dari merekalah hampir semua ilmu dan budayanya didapat. Mereka sangat berpengaruh dalam mengarahkan Ibnu Abbas kepada masalah ilmu pengetahuan yang sangat mendalam.




      Murid-murid Ibnu Abbas Banyak dari kalangan Tabi’in yang mempelajari ilmu pengetahuan dari Ibnu Abbas. Diantara mereka yang paling terkenal adalah murid-muridnya yang menukil tafsir dan ilmunya yang melimpah ruah. yaitu: Sa’id Ibnu Jubair, Mujahid ibnu Jabar Al-Khazramy, Thawus ibnu Kysan Al-Yamany, Ikrimah Maula (hamba) yang dimerdekakan oleh Ibnu Abbas, Atha’ ibnu Abi Rabbah. Mereka itu adalah murid-murid yang paling terkenal dimana mereka memindahkan lembaga ilmiah, buah pena Ibnu Abbas ke dalam tafsir yang sampai pada kita sekarang.




      b. Abdullah Ibnu Mas’ud

      Sahabat lain yang terkenal sebagai ahli tafsir dan menukilkan atsar (hadits) Rasul kepada kita ialah Abdullah ibnu Mas’ud r.a. Ia adalah salah seorang yang pertama untuk Islam. Usia beliau pada waktu itu enam tahun, dimana belum ada di muka bumi ini seorang anak yang masuk Islam selain dia. Ia adalah seorang pembantu Rasulullah SAW, sering memakaikan sandalnya dan sarung, pergi bersama-sama beliau sebagai penunjuk jalan. Dari segi hubungan kenabian ia adalah seorang yang sangat baik lagi pula terdidik. Karena pertimbangan itulah sahabat lain memandangnya sebagai seorang sahabat yang lebih banyak mengetahui bidang Kitabullah Al-Qur’an, mengetahui tentang muhkam dan mutasyabih, halal dan haram.

      As-Suyuthy mengatakan: “Yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud tentang tafsir adalah lebih banyak daripada yang diriwayatan dari Ali…….”.

      Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud: “Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya. tidak ada satu suratpun yang diturunkan oleh Allah yang tidak saya ketahui dimana turunnya. Tidak ada satu ayat Al-Qur’an pun yang tidak saya ketahui dalam kasus apa diturunkannya. Kalau aku tahu ada seorang yang lebih tahu dariku tentang Kitab Allah dan bisa ditempuh dengan kendaraan unta, niscaya akan kudatangi rumahnya…..”. Diriwayatkan oleh para Tabi’in daripadanya.

      Subscribe To RSS

      Sign up to receive latest news